Tuesday, August 24, 2010

IDEOLOGI KEBANGSAAN & INTEGRASI NASIONAL: Sumbang Saran







Roy Erikson Mamengko
Direktur Pusat Analisis Sosial dan Prubahan Politik Kawasan Timur Indonesia (PAS-P2-KTI)

I. Pengantar
Transformasi “ideologi kebangsaan“ di bawah pemerintahan Orde-Baru ternyata menyisakan persoalan-prosoalan yang krusial. Refleksi dari trasformasi sosial politik yang juga dinilai kental dengan sentralisasi dan otoritarianisme kepentingan, belakangan mencuatkan banyak peristiwa sosial baru. Dimana, bukan hanya demokrasi yang bangkit, melainkan juga tumbuhnya konflik sosial politik dengan penonjolan-penonjolan baru dalam manifestasinya yang lebih vulgar antara agama-agama ideologis masyarakat dengan ideologi negara.

Perwujudan dari peristiwa sosial baru yang dimaksud, antara lain dicirikan oleh bangkitnya semangat dari komunitas-komunitas agama dan kelompok-kelompok etnik tertentu ingin berpaling dari idiologi nasional untuk menemukan identitas diri mereka dalam “local genius”. Kendati, dari perspektif negara, persoalan “local genius” secara politis maupun ideologis telah terintegrasi dibawah perlindungan ideologi nasional yakni Pancasila.

Lantas, faktor-faktor apa yang melatari komunitas-komunitas agama dan etnik-lokal tertentu di Indonesia ini, ingin berpaling dari identitas kebudayaan nasional? Apakah karena politik kebudayaan nasional dewasa ini kurang mengakomodir eksistensi kelompok ini kedalam agenda pembangunan nasional? Mengapa pula transformasi ideologi kebangsaan (nasionalisme) di Indonesia tidak berhasil menciptakan perubahan, kususnya pada sektor kebudayaan politik bangsa? 

Untuk membahas beberapa pertanyaan tersebut, saya ingin berpaling kebelakang, meninjau akar sejarah lahirnya ideologi kebangsaan ini -- walau hanya sepintas --

II. Bermula dari Ernest Renan
Pada tanggal 11 Maret tahun 1882, Sastrawan Ernest Renan, menyampaikan orasi akademiknya di Universitas Sorbone, Paris. Bagian dari pidato ilmiahnya itu menyatakan bahwa “dasar dari suatu bangsa adalah mempunyai ras yang sama, agama yang sama, kehendak yang sama, dan wilayah yang sama”.

Bagian dari pidato Ernest Renan itu, kemudian ditafsirkan oleh kelompok masyarakat intelektual di dunia ketiga yang pada masa itu sedang melakukan perlawanan politik terhadap bangsa-bangsa yang menjajahnya (masa antara 1902, 1908 dan 1945), bahwa untuk menyatukan suku-suku bangsa menjadi satu kesatuan politik yang efektif adalah dengan mengikat kelompok-kelompok tersebut dengan ”nilai kebangsaan” karena prakondisinya sudah tercipta yakni adanya kesamaan perasaan dan kehendak untuk hidup bersama (le desir de vivre ensemble).

Selanjutnya, pada permulaan abad ke 20, perasaan kebangsaan (nasionalisme) Ernest Renan lebih diperkuat lagi di Amerika Serikat. Yaitu, di tahun 1916, melalui suatu kampanye politik untuk kepentingan menjadi Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson menggunakan tema kebangsaan ini. Sejak itu gagasan tentang kebangsaan Renan ini menjalar kemana-mana, dari Amerika serikat, ke Asia, Filipina dan Indonesia. Kemudian masuk ke Universitas-universitas mempengaruhi pikiran kaum cerdik pandai masa itu. 

Singkat kata, sebagimana para ahli sejarah menyimpulkannya juga, bahwa kasus-kasus politik yang telah mendorong dan membukakan jalan kelompok-kelompok masyarakat yang terpisah-pisah, baik secara wilayah, politik, agama mapun budaya, mulai dari politik etis, 1902, 1928, 1942, sampai lahirnya angkatan ’45 adalah titik kulminasi dari jiwa kebangsaan yang dipikirkan Ernest Renan itu. 

III. Pancasila dan UUD 1945 sebagai patokan?
Pertanyaan sekarang, apakah transformasi gagasan kebangsaan atau katakanlah ”ideologi nasional” yang mendasari rumusan pembukaan UUD 1945 sebagai ”kontrak sosial” bersama yang diprakarsai oleh angkatan pembebas, meminjam istilah almarhum T.B. Simpatupang. Berlanjut ditransformasikan oleh Rezim Orde Baru? Kita juga mengetahui UUD 1945 ini di era reformasi telah mengalami amandemen sampai empat kali. Setelah amandemen, pertanyaan muncul lagi, apakah UUD 1945 ini masih dijadikan sebagai patokan bersama untuk menjaga keutuhan NKRI dari potensi dis-integrasi dan separatisme politik? 

Untuk menjawab pertanyaan ini tidaklah mudah, mengapa? Karena rumusan batas kebangsaan Renan, yang mewarnai motivasi generasi masa lalu menciptakan ”negara-kebangsaan” yang ada sekarang sangatlah berbeda dengan dasar dan motivasi bangsa indonesia kontemporer menghadapi dinamika zamanya. Proposisi ini tampak sejalan dengan alur pikir Henley bahwa ”“akar pemikiran Renan bukan pada politik ataupun budaya tetapi pada perasaan bersama, yang merupakan soal keinginan. Jadi hanya merupakan suatu keadaan yang bersifat psikologis-politis antar kelompok masyarakat, pada suatu saat dalam negara.

Kalau mengacu dari pola pikir Renan tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa lamanya sebuah ”ikatan kebangsaan” sangat ditentukan oleh keinginan semata. Artinya, begitu masyarakat merasa tidak ada gunanya untuk tinggal lebih lanjut dalam suatu ikatan kebangsaan ia dapat keluar dari ikatan kebangsaan itu. 

Contoh kasus yang dapat dikemukakan adalah negara Jerman. Sejarah menunjukkan bahwa, sejak tahun 1648 Negara Jerman yang satu pecah menjadi dua negara, yakni Jerman Timur dan Jerman Barat. Perpecahan ini terjadi lantaran faktor ”keturunan” (darah). Tiba-tiba pada tahun 1989 dua negara yang sudah lama terpecah ini kembali bersatu. Alasan mereka sederhana, ingin menjadi satu negara berpatokan pada ”rasa kebangsaan”. 

Tetapi setelah Jerman Barat dan Jerman Timur bersatu, timbul masalah lain. Ketika masyarakat di daerah bagian Timur mengalami kesulitan ekonomi, yang dibagian Barat enggan membantu. Keengganan membantu ini menimbulkan penilaian buruk masyarakat di sebelah Timur terhadap yang di Barat. Yang dibagian timur menganggap yang dibagian barat kaya tetapi serakah karena mereka tidak dapat menunjukkan solidaritas kebangsaan dalam kehidupan ekonomi. 

Belajar dari contoh kasus tersebut, dapat dikatakan bahwa dengan batas kebangsaan dan persatuan saja, diantara kita tidak cukup dapat menciptakan saling ketergantungan di masa depan. Sebab apa, pada saat tuntutan akan pengorbanan ekonomi dan pengorbanan harga diri dibutuhkan, kemudian tuntutan ini tidak dapat diwujudkan oleh kelompok lain maka ”perasaan kebangsaan” akan memudar dengan sendirinya.

Bukan hanya dibidang ekonomi saja yang mempengaruhi ikatan solidarias kebangsaan. Bagi saya “kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi-pun telah mengubah falsafah sosial-politik, hubungan antar manusia dan antar kelompok dalam negara. Sebab, social power merupakan suatu bentuk kekuasaan yang arbitrer. Hal ini dapat terjadi karena dalam demokrasi yang makin moderen, hubungan-hubungan sosial politik yang bersifat piramidal” juga semakin memudar. Karenanya, dewasa ini, terdapat banyak pusat kekuasaan yang tidak selalu terkait pada kekuasaan yang fungsional. Sadar atau tidak sadar, di dalam suatu masyarakat selalu ada pusat-pusat kekuasaan yang menjalankan peran yang berbeda. Ada pusat kekuasaan yang selalu berusaha menambah kekuasaannya, ada pula pusat kekuasaan yang hanya mempromosikan fungsi dari masing-masing pusat kekuasaan. Disamping itu, adapula pusat kekuasaan yang selalu berusaha untuk meningkatkan prestige sosial-nya. Berdasarkan ketiga faktor ini, maka tidak terhindarkan terjadi kompetisi atau persaingan kekuasaan (power competition) antar kelompok (juga agama) yang ada di Indonesia.

Apabila di masa lalu hanya dikenal dua pusat kekuasaan, yaitu kekuasaan negara dan kekuasaan swasta, maka sekarang telah muncul pusat kekuatan ketiga yakni kekuasaan konglomerasi (corporate property) yang bentuknya teridentifikasi berada diantara kekuasaan negara dan kekuasaan swasta. Konglomerasi ini dilihat sebagai suatu kekuatan karena mereka mempunyai modal yang sangat besar dan menguasai banyak sumberdaya. Karena itu, kekuasaan ketiga ini dengan mudah dapat bersatu melalui dukungan kekuasaan hukum formal. Dengan sendirinya konglomerasi ini menjadi suatu sumber kekuasaan baru. Kekuasaan ini muncul karena jangkauan, lingkup kegiatan dan bidang oprasinya juga baru, sehingga membentuk apa yang dikenal sekarang ini sebagai power exercised by management. Dengan demikian kekuasaan beralih ke tangan para pakar dan ahli dalam bidang ekonomi, politik, dan agamawan yang besar.

Perubahan sosial dan politik yang saya gambarkan di atas, tampak ikut mempengaruhi bentuk kebangsaan masyarakat Indonesia kontemporer. Karenanya, saya perkirakan perubahan dibidang kekuasaan ini akan sangat mempengaruhi “bentuk kebangsaan masyarakat Indonesia” di tahun-tahun mendatang jika tidak dikelola dengan hati-hati. Sebab, berkembangnya perinsip pemilihan prioritas kekuasaan dalam masyarakat abad 21 ini adalah sesuatu yang tidak mungkin dapat dihindari. Masalah ini akan menciptakan budaya masyarakat yang berubah-ubah (unstable culture). Kemungkinan yang tetap stabil adalah fungsi, yaitu masing-masing pusat kekuasaan berusaha mencapai tujuan dan sasarannya. Masyarakat yang mempunyai sikap menerima berbagai pusat kekuasaan sebagai kenyataan sosial akan mencari keseimbangan diantara pusat-pusat kekuasaan ini.

Karena itu juga, ikatan-ikatan primordial sebagai perasaan yang lahir dari sesuatu yang dianggap ada dalam kehidupan sosial --- keluarga, agama, daerah, budaya --- tampak akan sangat menjadi masalah. Sebab, setiap kelompok dengan sendirinya akan memilih pusat kekuasaan yang menurut diri dan kelompoknya cocok untuk kepentingan dan masa depan mereka. Hal ini dengan sendirinya akan sangat membebani hubungan-hubungan antara kelompok minoritas dan mayoritas. Saya kira hubungan-hubungan baru ini akan menjadi sangat penting untuk dikaji ulang termasuk mutu dan kualitas hubungan-hubungan primordial dan unsur-unsur yang terkait didalamnya. 

IV Revitalisasi kebangsaan
Revitalisasi semangat kebangsaan dalam konteks tindakan sosial dalam abad 21, dari sudut padangan saya menjadi agenda yang mendesak untuk digumuli bersama. Sebab, pemenuhan kepentingan-kepentingan seperti yang telah mengakibatkan lahirnya berbagai bangsa seperti asal-usul etnik, agama, kepentingan ekonomi, tradisi politik, dan wilayah sekarang ini begerak dan berubah dengan cepat. Sehingga, pemenuhan kepentingan-kepentingan (masyarakat) tidak hanya menuntut kemauan (politik terutama) dalam takaran idiologi, tetapi ia juga butuh sikap ketulusan dan toleransi untuk harmoni bangsa ini. 

Itulah sebabnya, langkah-langkah prioritas yang tampaknya perlu ditempuh adalah memberi perspektif baru terhadap integrasi sosial dan politik nasional. Ciri-ciri perspektif baru mengenai paham kebangsaan yang perlu ditransformasikan berpijak pada asumsi bahwa integrasi bangsa adalah sesuatu yang belum final. Perlu diperkuat terus-menerus melalui konsensus-konsensus yang mengakomodasi perkembangan kebudayaan yang datang dari masyarakat aras bawah. 

Begitu pula terhadap perimbangan kekuasaan, kewenangan dan kemakmuran antara yang di pusat dan yang di daerah, perlu diberi versi khusus. Sebab, Indonesia di bawah UU No.32 tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, tampak dari hari-ke-hari wilayah Kabupaten dan Kota kian mengalami distansiasi. Disengaja atau tidak, “jarak hubungan-hubungan” baik yang bersifat sosial, politik, ekonomi, budaya bahkan agama dalam semua aras kian menganga.

Bagaimanapun, upaya mencegah percepatan bangkitnya sentimen-sentimen primordial seperti asal-usul etnik, wilayah, kepentingan-kepentingan ekonomi, budaya, dan agama, yang sekarang ini tampak begerak dan berubah dengan cepat harus dijadikan prioritas untuk di tanggulangi.

Pencegahan ini tidak boleh hanya dengan menunjukkan adanya kemauan politik dari pemerintah, tetapi yang terpenting implementasi mengelolah dan menanggulanginya. Walau harus ada yang harus dikorbankan. Pilihan-pilihan ini jauh lebih murah dan baik dari pada harus di tebus dengan darah dan separatisme. Tetapi untuk melakukan hal ini, pra-syaratnya adalah pemimpin nasional harus melepaskan diri dari ikatan ideologi Partai, atau ideologi primordialnya. Ia harus membangun visi kebangsaan yang kuat bagaimana membawa masyarakat Indonesia yang dipimpinnya ketempat tujuan akhir, yakni menjadikan bangsanya makmur dalam kehidupan, dan hidup dalam kenyamanan bukan ketegangan. Digahayu ke 65 Indonesia !