Thursday, September 30, 2010

Sultan: Mengapa Tidak Referendum Saja

BENNY N JOEWONO/KOMPAS.COM

Sri Sultan Hamengku Buwono X


YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X menyatakan, penetapan atau pemilihan untuk menentukan orang yang berhak mengisi jabatan gubernur adalah hak rakyat sehingga pemerintah pusat perlu mengakomodasinya dalam sebuah kebijakan tertentu, misalnya melalui referendum.

"Jika pemerintah pusat memiliki keberanian, mengapa tidak dilakukan referendum saja karena itu adalah hak rakyat?" kata Gubernu DIY Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X di Yogyakarta, Selasa (28/9/2010).

Menurut dia, pelaksanaan referendum tersebut merupakan salah satu wujud pelaksanaan demokrasi di Indonesia.

Pilihan untuk melakukan penetapan atau pemilihan jabatan gubernur tersebut menjadi bagian dari pembahasan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) DIY.

Wacana tersebut sudah dibahas oleh DPR RI. Namun, satu dari 10 fraksi yang ada di lembaga legislatif tersebut tidak menyetujui adanya penetapan gubernur dan hingga kini tidak ada lagi pembahasan mengenai hal tersebut.

Namun, saat ditanya apakah Gubernur DIY akan mengusulkan referendum tersebut ke pemerintah pusat, Sri Sultan HB X mengatakan akan melihat situasi dan kondisi terkait pembahasan RUUK DIY tersebut.

"Pembahasan RUUK memang belum selesai. Pemerintah pusat belum mengajukan revisi draf RUUK. Jika ada isu yang mengatakan sudah ada draf baru, itu tidak benar. Karena Presiden RI (Susilo Bambang Yudhoyono) belum mengirimkannya lagi ke DPR," katanya.

Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas mengatakan, pihaknya akan segera mengajukan hak interpelasi ke DPR pada awal Oktober terkait RUUK DIY.

"DPRD Provinsi DIY juga belum bisa bertemu dengan Komisi II DPR sehingga perlu diagendakan lagi. Kami berhak menanyakannya ke DPR," katanya.


Thursday, September 23, 2010

MENJAGA SEMANGAT KEINDONESIAAN

Ferry Mursidan Baldan
Dua kali duduk di DPR, tak membuatnya lupa pada salah satu tugas politisi: Menjaga keutuhan NKRI. Dan, Nasional Demokrat pun mampu meredam konflik.

Pemilihan Umum Legislatif 1997 merupakan pengalaman pertama Ferry Mursidan Baldan sebagai anggota legislatif dari Partai Golkar untuk masa jabatan 1997-2002. Terpilih dari daerah pemilihan Bandung, Jawa Barat, pria yang kini menjabat Ketua Organisasi dan Keanggotaan Nasional Demokrat, itu ditempatkan di Komisi II membidangi Pemerintahan Dalam Negeri, Hukum, Kepolisian, dan Aparatur Negara, Namun, begitu rezim Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto tumbang pada 21 Mei 1998, di bawah Presiden BJ Habibie, pemilu pun dipercepat.

Toh, pria berdarah Aceh yang akrab disapa Kang Ferry, itu pada pemilu 1999 kembali terpilih sebagai anggota DPR RI periode 1999–2004. Kali ini karirnya menanjak: menjadi Wakil Ketua Komisi II. Pada masa awal reformasi itulah ia terlibat dalam penyusunan UU yang dinilai banyak pengamat sebagai landasan menuju Indonesia yang demokratis: UU No 22/1999 tentang Otonomi Daerah, UU No 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, UU Bidang Politik, dan Rancangan Undang-Undang tentang Partai Politik. Dan, untuk dua produk legislasi terakhir itu ia malah menjadi anggota dan Ketua Pansusnya.

Menurut Kang Ferry Organisasi Massa Nasional Demokrat harus menjadi organisasi yang dapat membangkitkan keberanian kadernya untuk mengungkapkan keinginan me re k a , s e r t a me n i n g k a t k a n kepedulian terhadap sesama. Sebab, pria yang pernah bercita-cita menjadi pilot dan diplomat, itu melihat potensi disintegrasi bangsa semakin kuat. Menurut Ferry, hal itu dapat terjadi akibat orientasi kebanyakan partai politik cenderung pada sesuatu yang sifatnya material, sehingga yang terjadi akhirnya hubungan transaksional.

“Padahal ketika kita mengembangkan diri sebagai politisi, mengembangkan partai, yang harus kita jaga adalah semangat ke-Indonesiaan, semangat kebangsaan. Ruang itu harus kita pelihara. Jadi, kalau orang kemudian cenderung pada material, itu pasti merupakan pengabaian,” kata Ferry.

Menurut Ferry, banyaknya konflik mengenai batas daerah hasil pemekaran akibat Otonomi, tidak akan menimbulkan potensi disintegrasi bangsa. “Masalahnya adalah, ketika ada kebijakan otonomi daerah, yang di pusat ternyata masih ingin berkuasa penuh, seperti pada masa sebelumnya,” kata sarjana politik Unpad itu. Artinya, dengan melakukan tindakan tersebut, pemerintah pusat seakan tak mengakui adanya ruang kewenangan bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan daerahnya.

Padahal, yang diotonomikan adalah kewenangan untuk mengembangkan kehidupan mereka, bukan kewenangan untuk menyaingi kekuasan pusat.

Dengan kata lain, bila suatu daerah dimekarkan, tentu ada tujuan yang akan diraih. Selain itu, pemekaran juga harus memenuhi syarat sebagaimana dicantumkan dalam undang-undang. Jadi, jika tidak sesuai dengan UU tersebut, maka pemekaran itu salah. Sebab, akan sangat berbahaya dan fatal jika daerah yang dimekarkan ternyata menjadi semakin miskin dibandingkan ketika masih bergabung dengan daerah induk. “Artinya, itu bukan karena salah undang-undang, tapi karena secara tidak sengaja kita membiarkan terjadinya proses kemunduran kehidupan bagi sebagian masyarakat di daerah otonom baru itu. Juga, bukan hanya karena melanggar undang-undang, melainkan karena sudah ada proses sebelumnya yang mengakibatkan kemiskinan itu,” jelas Ferry.

Mengenai konflik yang timbul akibat pemekaran karena persaingan merebut kepemimpinan daerah hasil pemekaran, Ferry sangat bersyukur karena konflik-konflik itu dapat diredam oleh kehadiran Organisasi Massa Nasional Demokrat. Ia memberikan contoh kasus di Kepuluan Riau (Kepri). Melalui dua tokoh inisiator Nasional Demokrat setempat, pihak-pihak yang awalnya bersaing dalam perebutan kursi pemimpin daerah, bahkan hasilnya digugat, akhirnya bergandengan tangan saat deklarasi Nasional Demokrat. Dan, itu berdampak politis luar biasa bagi para pendukungnya. Begitu melihat kehadiran pemimpin mereka dalam satu panggung, masyarakat pun percaya bahwa ternyata tak ada masalah. “Artinya, melalui Nasional Demokrat, potensi konflik dapat dipadamkan,” kata Ferry. Sumber: majalah AND edisi September 2010

Tuesday, September 14, 2010

ICAL dan PALOH akan BERTEMU Lagi






Laporan wartawan KOMPAS.com Caroline Damanik


Minggu, 12 September 2010 | 16:02 WIB


JAKARTA, KOMPAS.com - Setelah bertemu, duduk berdampingan dan berbincang dalam silaturahim di kediaman pribadi mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Minggu (12/9/2010), Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie dan Ketua Umum Nasional Demokrat Surya Paloh dikabarkan akan bertemu kembali.

Paloh tak membantah karena dirinya tak pernah membatasi pertemuan dengan siapa saja. Namun, waktu dan tempat belum ditentukan. "Saya harap pertemuan tidak terbatasi. Perlu simbiosis mutualisme, silaturahmi yang terjaga dengan semua pihak," ungkap mantan Dewan Penasihat Golkar ini di depan kediaman Kalla.

Menurut Paloh, silaturahim kali ini di mana sejumlah petinggi dan mantan petinggi Golkar berkumpul menelurkan sejumlah pemikiran untuk kemajuan bangsa. Salah satunya, mempertanyakan keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penetapan 26 tersangka kasus suap pemilihan Miranda Goeltom daripada segera memproses kasus Bank Century yang sudah direkomendasi oleh DPR.

Menurut Paloh, dirinya mendukung penyatuan gerak Golkar dan Nasional Demokrat untuk mendorong kebaikan. Namun, bukan berarti Nasional Demokrat akan bergabung secara organisasi dengan Golkar. Keduanya hanya sama-sama bercita-cita membawa suasana perubahan di Indonesia.

Paloh: Golkar Bukan Musuh



Laporan wartawan KOMPAS.com Caroline Damanik
Minggu, 12 September 2010 | 15:51 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Nasional Demokrat Surya Paloh menegaskan, pihaknya tidak pernah menganggap Partai Golkar sebagai musuh. Keduanya berbeda "aliran" dan urusan meski tetap harus sama-sama berjuang untuk kesejahteraan bangsa.

Seusai bertemu dalam acara silaturahim di kediaman pribadi mantan Ketua Umum Golkar, Jusuf Kalla, Paloh mengatakan bahwa bagaimana keduanya perlu berjalan beriringan memang dibicarakan. Namun, bukan berarti keduanya diminta berdamai karena dinilai tak akur selama ini.

"Memang tidak ada masalah dan tak ada tawaran apa pun. Ini bulan baik. Dengan semangat Idul Fitri, kami silaturahim," katanya di depan kediaman Kalla, Minggu (12/9/2010).

Menurut Paloh, Golkar telah menjadi partai yang cukup berpengalaman dengan perjalanan lebih dari 45 tahun sehingga memiliki kemampuan untuk antisipasi perkembangan keadaan di Indonesia.

Sementara itu, keberadaan Nasional Demokrat (Nasdem) bisa ditempatkan sebagai salah satu kebijakan untuk memperkuat demokrasi di Indonesia. "Nasdem bisa mendukung semua parpol yang ada. Nasdem berarti bukan underbow dari parpol tertentu," tambahnya.

Namun, sebagai mantan Dewan Penasehat Golkar, Paloh tetap berharap nasihatnya bisa didengar agar tidak menempatkan Nasional Demokrat sebagai masalah yang memusingkan Golkar.

Wednesday, September 1, 2010

MENGAPA RESTORASI INDONESIA [2]

Pengantar 
Kelompok masyarakat menengah Indonesia dan kaum intelektual kritis [ khusnya yang ada di wilayah Provinsi Sulawesi Utara] acap kali menanyakan apa sejatinya makna “restorasi Indonesia”? yang dicanangkan di Jakarta, tanggal 1 Februari 2010 di bawah penamaan Nasional Demokrat. Untuk memberikan penjelasan yang memadai terhadap pertanyaan tersebut, rasanya tidak cukup hanya dengan menyodorkan buku bacaan tipis berisi manifesto, serta visi-misi Nasional Demokrat kepada kalangan tersebut sebagai penjelas. 

Kendati disadari, kalau hipotesis-hipotesis yang dijadikan sebagai tiang pancang penopang gerakan, antara lain: (I) bahwa reformasi Indonesia yang telah dan sedang menghentar bangsa Indonesia menjadi negara demokrasi, justru telah merumitkan tata cara pemerintahan sehingga kesejahteraan umum menjadi sulit diwujudkan. (2) bahwa demokratisasi politik yang ada hanya menghasilkan rutinitas kekuasaan tanpa melahirkan pemimpin berkualitas dan layak diteladani. (3) bahwa demokratisasi yang tidak berorientasi kepada kepentingan publik hanya menjadi proyek reformasi tak bermakna. Dapat kami akui, hipotesis-hipotesis ini belum sepenuhnya mendeskripsikan persoalan-persoalan struktural yang dihadapi bangsa Indonesia untuk di restorasi. 

Meskipun demikian, substansi persoalan: sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan yang dihadapi masyarakat untuk disikapi dan diartikulasikan, seperti antara lain (1) demokratisasi Indonesia harus berlangsung dinamis, dan menjadi sarana persandingan keberagaman demi untuk kesatuan, ketertiban, kompetisi, persamaan, kebebasan dan kesejahteraan. Dan, (2) demokratisasi di Indonesia harus bertumpu pada kewargaan yang kuat, dan diwujudkan dengan tangan sendiri yang berkeringat untuk menggapai masa depan bangsa yang gemilang, telah dapat terformulasikan, dan ditindak lanjuti, melalui pintu masuk menggalang solidaritas kesosialan, kebudayaan dan kepolitikan secara nasional. Berikut narasi argumentasi mengapa Nasional Demokrat mencanangkan gerakan Restorasi Indonesia. 

V. Lemahnya penetapan kebijakan sosial dan budaya 
Bangunan sistem sosial dan kebudayaa bersumber dari realitas pluralisme, yang saling menopang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, yang bangkit bersama karena kesamaan penderitaan untuk meretas penindasan penjajahan. Inilah modal sosial budaya Indonesia di awal kemerdekaan. Kemerdekaan Indonesia seharusnya mampu mengembangkan modal sosial dasar ini kedalam kebangsaan. Setelah enam pulu lima tahun merdeka, karakter kebudayaan bangsa bukan tambah kuat, malah makin rapuh. Konflik antar etnis, antar penganut agama, antar golongan dan antar ras mencuat hanya karena persoalan-persoalan kecil, yang seolah mengerdilkan nilai kebangsaan Indonesia. Budaya premanisme adalah wujud kristal kegagalan modal sosial yang didukung oleh kegagalan kebijakan ekonomi, khususnya dibidang ketenagakerjaan (employment based economy). 

Kegagalan mengelola kebudayaan nasional disebabkan oleh kegagalan pemerintah mengembangkan sistem pendidikan dan tiadanya keteladanan pemimpin. Hampir tidak ditemukan sekarang seorang pemimpin yang mau hidup sederhana, walau lautan massa yang dipimpinnya selalu dalam kesederhanaan atau lebih kemiskinan. 

Kebudayaan local yang seharusnya memperkaya budaya bangsa, terkekang dalam konsep kesatuan bangsa yang cenderung diartikan sebagai keseragaman cara berfikir dan perilaku bangsa. Kritik sosial yang mencerminkan budaya sehat dalam pluralisme dianggap tabu, dijauhi dan bahkan dikecam. Semua kritik adalah konstruktif karena ia memperkaya cara berfikir. Ungkapan kritik harus konstruktif sesungguhnya mempertontonkan kebodohan mereka yang anti kritik. Orang berjiwa bebas merdeka mendorong budaya kritik karena selalu mencari cara kehidupan yang lebih baik dan benar. Sebaliknya, orang yang berjiwa budak atau penindas menolak kritik karena kehidupannya terancam oleh perubahan. Hampir semua pemimpin Indonesia tidak membangun budaya kritik, karena mereka sadar bahwa kritik dapat mengganggu kepemimpinan mereka. Padahal kreativitas nasional tidak akan terbangun optimal bila budaya kritik, budaya kreasi dan karakter independent masyarakat belum menjadi bagian dari kebudayaan nasional. Terbentuknya budaya baru itu bergantung pada keberhasilan sistem pendidikan nasional. 

Sistem jaminan sosial adalah kunci kuatnya sistem sosial. Tidak mungkin prilaku berbudaya dan beradab dalam kehidupan bangsa tumbuh berkembang, bila lautan kemiskinan masih menjadi fenomena sosial. Budaya bekerja keras dalam kehidupan bangsa justru melemahkan karena sebagian kecil anak bangsa dengan fasilitas-fasilitas atau koneksinya mampu menikmati kemakmuran tanpa kerja keras. Sementara, banyak warga bangsa ini yang bekerja keras siang malam, namun tetap saja tidak berubah nasibnya. Prilaku masyarakat yang bekerja keras namun tidak ditopang sistem intensif sosial yang adil bukan saja merusak modal kerja, tetapi secara perlahan menghancurkan kebudayaan dan modal sosial bangsa seperti yang sementara ini dialami bangsa Indonesia. 

VI. Lemahnya penegakan hukum dan keadilan
Yang paling menyedihkan, Negara Indonesia sebagai negara hukum telah berubah menjadi Negara kekuasaan. Citra hukum yang mengabdi pada keadilan telah redup dalam Negara Proklamasi. Lembaga dan aparat penegak hukum terjebak dalam formalisme prosedur yang mengabaikan rasa keadilan rakyat. Hampir setiap hari, layar kaca menayangkan bagaimana para kaum papa, berteriak-teriak histeris menangis, anak-anak kecil berlarian panik, dikejar-kejar satuan polisi pamong praja, ditangkap dan dipukuli dengan tangan dan pentungan, rumah mereka dibongkari, bahkan dibakar. Anak bangsa diperlakukan bagai anak hewan oleh aparat negara yang seharusnya memberikan perlindungan dan rasa aman kepada mereka. Mahasiswa terjebak perkelahian antar sesama mahasiswa di dalam kampus. Rakyat yang menganggur karena sulit memperoleh pekerjaan, ditutup peluangnya untuk tinggal dan hidup di Ibu Kota. Bahkan diantara mereka, karena tekanan hidup berkeliaran di stasiun bis, dan pasar-pasar tradisional, dirasia dan ditangkapi petugas keamanan, kemudian dijebloskan kedalam tahanan oleh aparat penegak hukum dengan alasan-alasan praktis yang sulit diterima akal yang waras. 

Prilaku aparat penegak hukum, telah dimaknai sebagai tindakan yang memihak kekuasaan, bukan tindakan yang menegakkan rasa keadilan. Hukum yang diskriminatif menciptakan ketidakpastian, ketidakpastian mendorong rakyat mencari caranya sendiri untuk melindungi rasa aman dirinya. Di tangan masyarakat, hukum rimba diterapkan pada obyek yang tidak disukainya sebagai pelampiasan kekesalan diri karena tidak ditemuinya keramahan keadilan yang menghargai nilai kemanusiaan. Dalam era kepemimpinan SBY, reformasi perilaku penegakan hukum belum mengubah substansi tujuan penegakan keadilan. Penegakan hukum masih jauh dari penurunan tensi kecemasan di kalangan rakyat. 

VII. Ketergantungan mondial 
Sejak era tahun 1990-an perekonomian dunia ditandai dengan kecenderungan mondial. Indonesia masuk dalam kompetisi mondial dengan bekal modal sosial dan budaya yang rapuh. Sistem pemerintahan, penegakkan hukum dan sistem kepartaian yang lemah dan fundamental ekonomi yang kropos. Situasi ini menggiring Indonesia masuk kedalam kompetisi internasional dengan berbagai kelemahan di bidang sember daya manusia, kebudayaan, teknologi bahkan tradisi berdemokrasi telah menyulitkan dirinya untuk dapat berkompetisi dengan harga diri yang tinggi. 

Konsep mondialisasi dapat menguntungkan bila bangsa ini memusatkan perhatian pada strategi perjuangan kebangsaan yang tepat. Misalnya liberalisasi perdagangan dunia dalam jangka pendek dapat membuat Indonesia tetap kompetitif bila berkonsentrasi pada faktor produksi dalam negeri, seperti sektor tradisional dan pertanian. 

Ketergantungan hutang luar negeri, yang menjadi perangkap pembangunan, tidak dapat lagi diselesaikan dengan pendekatan rasional ekonomi, tetapi lebih pada negosiasi politik Internasional. Inilah wilayah kelemahan Indonesia yang tidak pernah mendapat perhatian serius dari para pemimpin pemerintahan bangsa. Ketergantungan pada pasar negara maju seperti AS, Jepang dan Singapura harus mampu diubah untuk menjaga keseimbangan resiko global melalui diversifikasi produk maupun pasar. [bagian 2] 

Upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki semua itu, hanyalah dengan Restorasi Indonesia! Sekali lagi Restorasi Indonesia!

N.H. Eman ( Ketua Nasional Demokrat Wilayah Sulawesi Utara)
Roy Erickson Mamengko (Ketua Bid. Perencanaan, Penelitian & Pengembangan)

MENGAPA RESTORASI INDONESIA [1]

I. Pengantar
Kelompok masyarakat menengah Indonesia dan kaum intelektual kritis [ khusnya yang ada di wilayah Provinsi Sulawesi Utara] acap kali menanyakan apa sejatinya makna “restorasi Indonesia”? yang dicanangkan di Jakarta, tanggal 1 Februari 2010 di bawah penamaan Nasional Demokrat. Untuk memberikan penjelasan yang memadai terhadap pertanyaan tersebut, rasanya tidak cukup hanya dengan menyodorkan buku bacaan tipis berisi manifesto, serta visi-misi Nasional Demokrat kepada kalangan tersebut sebagai penjelas.

Kendati disadari, kalau hipotesis-hipotesis yang dijadikan sebagai tiang pancang penopang gerakan, antara lain: (I) bahwa reformasi Indonesia yang telah dan sedang menghentar bangsa Indonesia menjadi negara demokrasi, justru telah merumitkan tata cara pemerintahan sehingga kesejahteraan umum menjadi sulit diwujudkan. (2) bahwa demokratisasi politik yang ada hanya menghasilkan rutinitas kekuasaan tanpa melahirkan pemimpin berkualitas dan layak diteladani. (3) bahwa demokratisasi yang tidak berorientasi kepada kepentingan publik hanya menjadi proyek reformasi tak bermakna. Dapat kami akui, hipotesis-hipotesis ini belum sepenuhnya mendeskripsikan persoalan-persoalan struktural yang dihadapi bangsa Indonesia untuk di restorasi. 

Meskipun demikian, substansi persoalan: sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan yang dihadapi bangsa Indonesia untuk disikapi dan diartikulasikan, seperti antara lain (1) demokratisasi Indonesia harus berlangsung dinamis, dan menjadi sarana persandingan keberagaman demi untuk kesatuan, ketertiban, kompetisi, persamaan, kebebasan dan kesejahteraan. (2) demokratisasi di Indonesia harus bertumpu pada kewargaan yang kuat, dan perlu diwujudkan dengan tangan sendiri yang berkeringat untuk menggapai masa depan bangsa yang gemilang, telah dapat terformulasikan dan ditindak lanjuti melalui pintu masuk; menggalang solidaritas kesosialan, kebudayaan dan kepolitikan secara nasional. Berikut narasi argumentasi mengapa Nasional Demokrat mencanangkan gerakan Restorasi Indonesia.

II. Lemahnya sektor Negara 
Sejak kemerdekaan Indonesia tahun 1945, bangsa ini terus saja terus mencari format politik bagaimana mengisi dan mengolah negara ini sesuai dengan dasar dan cita-citanya bangsa yang ideal. Visi luhur perjuangan bangsa Indonesia yang menjadi acuan kerja dan telah dirumuskan dengan ideal dalam pembukaan UUD 1945; “mewujudkan masyarakat adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia” faktanya masih jauh panggang dari api. Bangsa seperti Malaysia dan Singapura yang baru beranjak membangun negara mereka dengan sumber daya alam dan jumlah penduduk yang terbatas sesudah bangsa Indonesia ini merdeka, justru kemakmuran rakyat kedua negara itu telah melampaui kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia sekarang.

Negara yang diwakili oleh penyelenggara pemerintahan, dari periode-ke periode dianggap gagal memenuhi dan melaksanakan amanat penderitaan rakyat. Penyelenggara negara, dirasakan tidak lagi menjadi parts of the problem tetapi sebagai source of the problems. Penyelenggara Negara tidak mampu membangun suatu sistem penyelenggaraan negara yang baik (good governance) apalagi menciptakan persatuan dan kesatuan, memberikan keadilan, mencerdaskan kehidupan bangsa serta melindungi tanah tumpah darah Indonesia. Hal ini terlihat dari tiga fase pemerintahan (Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi) dimana ketiga-tiganya gagal memenuhi panggilan tugas menegakkan keadilan dan kebenaran, melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Transformasi politik sebagai upaya pembentukan karakter bangsa yang berkepribadian terjebak dalam otoritarisme. Sementara dibidang pembangunan ekonomi, penyelenggara negara terjebak utang luar negeri dan membiarkan terjadinya sistem monopoli dan oligopoli, tumbuhnya kelompok-kelompok kepentingan (interest group) yang mencari keuntungan diri sendiri (self-interest), serta meluasnya KKN, telah menghempaskan bangsa ini ke dalam jurang anarkisme politik, keterpurukan sistem keuangan dan kemelut ekonomi yang berujung pada sengsaranya rakyat. 

Begit pula denga prilaku anggota parlemen yang lebih suka bekerja untuk kepentingan kelompok partai politiknya dari pada berjuang mewujudkan aspirasi rakyat. Bahkan partai-partai politik lama, tanpa malu membatasi peran politiknya sebatas mencari keuntungan ekonomi untuk diri dan partainya. Ketidakmampuan mengartikulasikan kepentingan rakyat sebagai tanggung jawab sosial-politiknya yang utama di era reformasi, telah menghilangkan kemuliaan jabatannya, dan kepercayaan rakyat terhadap perananan negara yang melayani. Dawan Perwakilan rakyat tetap belum mampu menjadi penyeimbang kedigdayaan pejabat pemerintah. Check and Balance masih pada seputaran retorika reformasi, belum bertransformasi ke sistem demokrasi. Kenyataan ini juga menjelaskan bahwa mandat kekuasaan disalah gunakan para penyelenggara negara di legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kekuasaan didapatkan dengan tujuan memperalatnya dan sebagai sarana berkonspirasi dengan kelompok-kelompok pebisnis yang dikenal dengan istilah “penguasa memberikan perlindungan kepada pengusaha dan pengusaha mebayar upeti padanya”. Wujud kolusi dan konspirasi ini terlihat dari maraknya para pejabat penyelenggara kekuasaan, penegak hukum dan para pengusaha menjadi pesakitan di pengadilan tindak pidana korupsi (KPK) karena kasus-kasus yang terkait dengan divestasi, resrukturasi ekonomi, privatisasi BUMN, aliran dana bank, proses penyusunan APBN/APBD yang merugikan dan menyengsarakan rakyat.

III. Lemahnya sistem demokrasi
Filosofi demokrasi Indonesia tertuang dalam nilai kerakyatan. Rakyat adalah pemilik kedaulatan negara.Pemerintah dan lembaga penyelenggara negara bukan negara. Ia hanya pengemban tugas rakyat. Sebagai pengemban amanat rakyat, pemerintah bertanggung jawab mewujudkan dan memelihara rasa aman masyarakat, membebaskan mereka dari rasa lapar, menciptakan kehidupan yang makmur serta menghindar dari prilaku diskriminatif terhadap sesama anak bangsa. Rumusan ideal inilah yang diamanatkan oleh UUD 1945 untuk diwujudkan.

Demokrasi kerakyatan adalah demokrasi yang mampu meningkatkan mutu kehidupan rakyat. Karena demokrasi adalah konsep yang percaya pada hukum dalam menyusun kebijakan negara. Suara publik harus didengar dan diwujudkan. Bukan sekedar ekspektasi dari common denominator. Hanya dengan mendengar dan mengikuti amanat rakyat, demokrasi menemukan bentuknya yang substantif. Bila para artikulator gagal mengeksekusi amanat dan harapan anak bangsa, gejolak politik atau tindakan revolusioner rakyat adalah bayarannya. Fakta kekinian menunjukkan, pada tingkat yang paling rendahpun prinsip kebijakan publik yang demokratis tidak sanggup diwujudkan oleh lembaga perwakilan rakyat. Kasus-kasus penggusuran rumah rakyat, terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan antar daerah, gender, golongan, status social-ekonomi dan bahkan antar generasi adalah contoh-contoh kebijakan publik yang tidak demokratis yang menjadi beban sosial bangsa. Tidak mustahil, pada putaran lanjut, kondisi ini akan meledakkan kemarahan rakyat pada negara.

Semua kebijakan publik yang tidak demokratis itu bersumber dari lemahnya demokrasi kerakyatan. Pemilihan Umum yang selayaknya menjadi medan uji kualitas demokrasi, tidak pernah benar – benar ditegakkan dan dipelihara. Model indirect democracy selama ini lebih mencerminkan quasi – democracy bukan real democracy. Pemilu Indonesia memilih partai politik, bukan figur politik, baik dengan atau tanpa partai. Partai politik kemudian menunjuk orangnya untuk posisi wakil rakyat. Kondisi seperti ini, mendorong anggota legislatif selalu diperhadapkan dengan pilihan apakah mengedepankan aspirasi partai atau aspirasi rakyat. seorang aktivis politik cenderung tidak peduli pada aspirasi konstituennya demi keselamatan karir politiknya. Bila terjadi konflik antara aspirasi rakyat dan aspirasi partai, maka hampir selalu yang terakhir ini yang dimenangkan. Di era reformasi, hampir semua ketua partai yang menjabat jabatan publik tanpa ragu mengelak melakukan pilihan: mana yang diutamakan, kepentingan rakyat atau kepentingan politik.

IV. Lemahnya strategi pembangunan ekonomi
Lemahnya penetapakn strategi pembangunan ekonomi terletak pada kesalahan orientasi pertumbuhan pendapatan yang mengabakan keadilan ekonomi. Dengan konsep ini, akumulasi kapital dimungkinkan bahkan tanpa moral keadilan. Pemerataan ekonomi melalui distribusi pendapatan, sebagai modifikasi atas kritik kebijakan ekonomi pertumbuhan, justru memperburuk moral dan prilaku ekonomi karena berorientasi pada konsep benevolent government atau kedermawanan pemerintah. Model kebijakan seperti Bantuan Likuiditas Tunai (BLT) yang disebut mendukung distribusi pendapatan telah menempatkan penduduk atau institusi pemerintahan di bawah pemerintah pusat seperti pengemis sosial. Distribusi bukan menumbuhkan budaya ekonomi produktif tetapi malah mengembangkan moral hazard yang makin meneguhkan budaya ketergantungan pada pemerintah pusat. Model pembangunan seperti ini, sejak dari masa masa Orde-Baru sampai pada kepemimpinan SBY, yang bemula dari penempatan posisi pemerintah pusat mengandalkan modal luar negeri. Akumulasi kapital luar negeri ini membuat pemerintah tidak pernah berupaya meningkatkan potensi dalam negeri.

Berganti-gantinya pemerintahan reformasi, tampak tidak mengubah strategi pembangunan yang bertumpuh pada hutang. Bila pada orde baru hutang berasal dari luar negeri di masa reformasi hutang mengandalkan obligasi dalam negeri yang jumlahnya hampir sama dengan hutang luar negeri. Strategi pembangunan yang mengutamakan hutang, tanpa perhatian pada efektifitas dan produktifitas penggunaan hutang serta peningkatan produktifitas tenaga kerja setra transfer teknologi, telah membuat perekonomian sebagai economic huble. Dipermukaan tampak baik, tetapi fundamentalnya sangat rapuh. Beban hutang negara sampai kini masih menjadi beban setiap penduduk, khususnya penduduk miskin dan berpendapatan tetap. [bagian 1. Bersambung ke bagian 2]

N.H. Eman (Ketua Nasional Demokrat Wilayah Provinsi SULUT)
Roy Erickson Mamengko ( Ketua Bid. Perencanaan, Penelitian & Pengembangan)