Friday, February 11, 2011

SIKAP KEBANGSAAN NASIONAL DEMOKRAT


Amuk massa kembali datang memporak-porandakan kehidupan kebangsaan kita di awal tahun 2011 ini. Dalam hitungan jam, dua peristiwa besar yakni penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Banten dan penyerangan gereja dan fasilitas umum di Temanggung, Jawa Tengah.

Dalam dua peristiwa yang terjadi hanya berselang sehari itu, aparat penegak hukum seperti tidak berdaya menghentikan kekerasan dan kemarahan massa. Indonesia sebagai negara demokrasi tidak mampu memberikan perlindungan bagi warga negara. Amok massa atas nama “orang banyak” telah menginjak-nginjak negara hukum yang menjadi basis konstitusi kita dalam melindungi warganya.

Kita sungguh merasakan prihatin dengan situasi carut-marut ini. Konflik horizontal yang mengusung identitas kelompok telah memudarkan nilai dasar Pancasila. Para founding fathers menyatakan bahwa Indonesia harus bangga dengan keniscayaan kebhinekaan sebagai realitas kemasyarakatannya.

Bung Karno memberikan kerangka paradigmatik, bahwa ruh dari Pancasila adalah sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi yang berarti perpaduan antara kebangsaan dan perikemanusiaan. Kehendak untuk membangun peradaban kebangsaan harus sejalan dengan penghargaan terhadap prinsip hak asasi manusia. Artinya, mencederai hak asasi manusia sama halnya dengan mencederai kebangsaan itu sendiri.

Kita sungguh kecewa, ketika pemerintah gagal menjadi pelindung bagi hak-hak kaum lemah dan minoritas dipaksa untuk tercerabut dari akar budayanya. Jaminan kebebasan untuk menjalankan berkeyakinan merupakan hak fundamental negara yang dijamin oleh Konstitusi Republik Indonesia, dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.

Atas dasar situasi nasional yang berkembang maka Nasional Demokrat bersikap:

1. Penyelenggara Negara kembali Berpegang Teguh pada Landasan Konstitusional
Pemerintah adalah lokomotif pelaksanaan setiap perintah konstitusi karena memiliki instrumen sampai ke tingkat paling bawah. Namun, meningkatnya konflik horizontal dan kekerasan menunjukkan pemerintah telah abai dan lalai dalam menunaikan amanat konstitusionalnya.

Pemerintah sebagai pemegang komando atas nama negara harus berpijak pada prinsip dan aturan yang konstitusional untuk melindungi dan menjamin kelompok masyarakat. Karena itu, tak patut jika pemerintah hanya sekadar memberikan seruan, imbauan, ungkapan keprihatinan, atau statemen kecaman saja!

Pancasila sebagai nilai dasar belum terjelma dalam etika sosial-politik. Sehingga kegamangan terjadi dalam proses penyelenggaraan negara. Banyak hal dalam perubahan sistem politik dan tata pemerintahan yang sebenarnya tidak selaras dengan Pancasila sebagai normanya.
Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan jaminan kebebasan beragama, Pasal 28E (Perubahan II) ayat 2 disebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. Dan dalam ayat 3 (Perubahan II) menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

Pasal 28I UUD 1945 juga mengamanatkan bahwa kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Bahkan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan.

Dalam penjelasan UUD 1945, sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab berada dalam satu kalimat dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Mohammad Hatta (proklamator) dan Driyarkara bersepakat menyebut sila pertama dan kedua itu sebagai ”landasan moral” dalam Pancasila.

Pemerintah harus menegakkan hukum bagi para pelaku kekerasan, intoleransi, dan diskriminasi atas dasar konstitusi.

2. Lemahnya Peran Negara dalam Memajukan Harmoni dan Integrasi Sosial
Fakta-fakta tentang meninggalnya tiga anggota jemaat Ahmadiyah, pembakaran rumah dan mobil di Banten, amuk ribuan massa yang menimbulkan ketakutan penduduk, pembakaran, perusakan rumah ibadah, kendaraan, sekolah, dan kantor pengadilan di Temanggung, Jawa Tengah adalah manifestasi dari ketidakmampuan negara dalam menjalankan fungsinya. Hukum tergantikan dengan tindakan kolektif yang destrutif. Atas nama suara terbanyak, hukum bisa digunakan untuk memarginalkan kelompok yang kecil. Atas nama orang banyak, kebenaran dan keadilan dikalahkan dalam tempo yang singkat.

Disinilah kita harus mengembalikan bahwa fungsi negara adalah menjaga dan melindungi segenap warga negara, bukan sekadar menyatakan keprihatinan. Kegagalan negara dalam mengantisipasi persoalan ini merupakan kegagalan sistemik aparatur hukum negara, baik pusat dan daerah. Negara sepertinya tak berdaya untuk merespon itu semua. Fungsi alat negara adalah menyelenggarakan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

Situasi ini menuntut untuk tujuan bernegara harus kembali direstorasi untuk terwujudnya suatu kondisi harmoni dan intergrasi social budaya masyarakat Indonesia dalam nilai-nilai yang keperimanusiaan, kesejahteraan, dan kecerdasaan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3. Disintegritas Kepemimpinan Nasional
Situasi carut-marut ini tidak hanya bias dari mis-manajemen sistem penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Faktor utama dari persoalan yang sedang kita alami adalah distintegrasi kepemimpinan nasional.

Kepemimpinan nasional sekarang ini terlalu sibuk dengan personifikasi diri yang berakibat warganya semena-mena main hakim sendiri. Kita seolah kehilangan elan kenegarawaan bagi para penyelenggara negara yang memegang kendali arah kenegaraan. Rakyat melihat bahwa kepemimpinan nasional sibuk dengan agenda sendiri-sendiri.

Kepemimpinan nasional harus bertindak tegas dan memilik integritas dalam menyelesaikan persoalan disintegrasi sosial kemasyarakatan yang mengancam keutuhan Indonesia. Keputusan negarwan harus melandasi setiap kebijakan yang ditempuh, bukan didasari atas pertimbangan kepentingan politik jangka pendek yang selalu menimbulkan bahaya laten.

Atas dasar pertimbangan-pertimbangan di ataslah, Nasional Demokrat menyatakan bahwa kita memerlukan penegakan sistem hukum yang berlandasakan konstitusional, memelihara dan memajukan perikehidupan umum sesama warga negara, dan menciptakan karakter kepemimpinan nasional yang berintegritas.

Jakarta, 10 Februari 2011
Surya Paloh
Ketua Umum Pengurus Pusat Nasional Demokrat

Thursday, February 10, 2011

Restorasi Indonesia: Jalan Perubahan bagi Indonesia yang Bermartabat, Kuat, dan Sejahtera

Surya Paloh
Ketua Umum Nasional Demokrat


Assalamu’alaikum warahamatullahi wabarakatuh.
Salam sejahtera untuk kita semua.

Saudara-saudara tamu undangan Simposium Restorasi Indonesia yang saya hormati.

Hari ini, 30 Januari 2011, satu pekerjaan besar sudah kita lewati, sebagai pilar menajamkan fondasi republik ke masa depan. Pekerjaan yang dimulai sejak 1 Juni 2010, yakni simposium restorasi Indonesia yang bertujuan untuk menggali dan merumuskan guideline kejayaan Indonesia.

Nasional Demokrat berketeguhan hati untuk mengajak kaum cendekiawan, praktisi, serta siapapun untuk menyelami keluhuran paradigma maritim. Nasional Demokrat mengurai pasal demi pasal UUD 1945 dalam balairung kampus. Nasional Demokrat mengkaji naskah dan tulisan yang dikirim oleh anak-anak bangsa yang terpanggil untuk merawat Indonesia.

Saudara-saudara yang saya hormati,
Sungguh satu kehormatan bagi saya secara pribadi, menginisiasi forum ilmiah ini. Terlebih lagi bagi kami, jajaran pengurus pusat Nasional Demokrat. Kami sadar sesadar-sadarnya bahwa tidak ada praktek perjuangan yang maju tanpa teori perjuangan yang maju. inilah basis pemikiran Nasional Demokrat, untuk membuat jejaring dengan civitas akademika di seluruh Indonesia.

Melalui simposium ini, saya juga mengaturkan terima kasih yang mendalam kepada kampus-kampus yang turut menyumbangkan pikiran-pikiran bernasnya. Saya berjanji akan tetap merawat dan meneruskan program kerjasama kita, ke tahap yang lebih maju.

Saudara-saudara yang saya hormati,
Kita bisa berkacara pada pengalaman bangsa Tiongkok, keluar dari cengkraman revolusi hijau. Hampir tak ada negara yang bisa keluar dari gurita pestisida dan zat-zat kimiawi tersebut. Hanya dengan ketekunan para ilmuwan kampus serta kebijakan yang progresif dari pimpinan negaranya, Tiongkok bisa menyelamatkan 1 Milyar pendudukanya.

Kemajuan bangsa dan negara ditentukan oleh gerak sejarah peradaban masyarakatnya sendiri. Dalam hemat saya, Indonesia adalah bangsa yang paling beruntung di atas jagad bumi ini.
Kekayaan alam dan manusia adalah takdir yang terelakkan bagi Indonesia. Dalam dimensi sejarah, kekayaan alam tersebut menjadi mitos yang tak habis-habisnya dikutip dari masa ke masa. Namun karunia Indonesia sebagai negara kepulauan diselewengkan oleh pola pikir dan tata kelola negara sesat. Lihatlah, laut yang penuh dengan sumber kehidupan ditelantarkan, dibiarkan, dan dijarah.

Hari ini, sebagian besar masyarakat Indonesia hidup dalam kubangan kemiskinan hampir mencapai 40% dari total populasi Indonesia, berpendapatan kurang dari 2 US dollar per hari, mereka harus berjibaku untuk menyumbang nafas.

Saudara-saudara peserta simposium yang saya hormati,
13 tahun reformasi menghiasi dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita, bangga telah menjadi negara demokrasi. Tetapi mutu kehidupan mutu kehidupan manusia Indonesia secara kualitatif tidak banyak berubah. Kita tetap saja berada dalam kelompok negara miskin dunia. Semakin hari kita semakin kalah dan lelah menghadapi kompetisi global.

Demikian juga hukum. Peraturan dan perundang-undangan di negeri ini banyak, bahkan terlalu banyak. Tetapi law-enforcement amat buruk karena hukum dipraktekkan sebagai sebuah muslihat, untuk mengelabui kebenaran substansial. Law-protection tidak menunjukkan wujudnya ketika berhadapan dengan lingkaran kekuasaan.

Birokrasi sebagai perpanjangan tangan negara dalam pelayanan publik, tak beranjak sedikitpun dari tabiat malasnya. Pelayanan tidak menjadi roh yang mewataki secara kuat kinerja mereka. Birokrasi menjadi bertele-tele dan biaya tinggi.

Seluruh paradoks yang saya paparkan di atas, menegaskan beberapa perkara fundamental dalam proses bernegara dan berbangsa kita sekarang.
Saudara-saudara, saya pastikan bahwa kelumpuhan pranata negara dalam membangun kesejahteraan disebabkan oleh demoralisasi hampir dalam segala bidang.

Negara kita, kehilangan semangat kemandirian, dalam menyusun strategi pembangunan nasional, sehingga membuat Indonesia terombang-ambing.
Masyarakat kita kehabisan etos produktif, di tengah arus global yang mengutamakan pertarungan bebas.

Bangsa kita belum berdikari, dalam memajukan peradaban di tengah kepungan budaya-budaya instan yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa.

Saudara-saudara peserta simposium yang saya hormati,
Sekali lagi saya mengajak, marilah kita merefleksikan kondisi Indonesia hari ini secara objektif, proyektif, serta dengan semangat kemajuan untuk merubah keadaan!

Apa yang telah berubah sejak 66 tahun merdeka? Apakah nasib jutaan rakyat berubah? Apakah kita masih punya rasa percaya diri di tengah kebangkitan bangsa-bangsa Asia yang mampu keluar dari krisis dan ketergantungan? Apakah kita percara memiliki kemampuan untuk mencapai cita-cita bangsa yang belum sempat diwujudkan?

Saudara-saudara yang saya hormati, tentu jawaban itulah yang akan kita diskusikan hari ini, untuk menemukan pokok soal dan mencari alternatif jalan keluarnya. Inilah tanggung jawab sejarah kita secara kolektif.

Bangsa-bangsa besar di Eropa bisa tumbuh dan maju seperti yang kita saksikan hari ini, tentunya bukanlah tanpa peluh dan darah. Bahkan demi mencapai gerbang abad pencerahan, mereka harus menempuh revolusi kebudayaan di era renaisance.

Demikian pula denga bangsa Tiongkok yang dengan bekerja dan berpikir keras. Kini, mereka sedang menjadi kekuatan baru, baik itu dalam lapangan ekonomi, politik, budaya, dan militer yang tengah merubah keseimbangan kekuatan dunia. Inilah kondisi yang menjadi cermin sekaligus cemeti bagi kita, bangsa Indonesia untuk maju ke depan.

Situasi sekarang ini, menciptakan ruang kosong terhadap pengabdian dan pemberdayaan masyarakat. Warga negara merasa tidak terlayani oleh negara dan seluruh instrumennya.

Ruang kosong inilah, yang hendak diisi oleh Nasional Demokrat melalui gerakan perubahan di bawah tema besar: Restorasi Indonesia. Nasional Demokrat melalui Restorasi Indonesia menginginkan demokrasi yang mempermudah pemerintahan, bukan mempersulit.

Demokrasi bagi Nasional Demokrat adalah alat, bukan tujuan. Adalah kesalahan ketika, atas nama demokrasi, rakyat tenggelam dalam kemiskinan dan penderitaan panjang dan tak berujung.

Melalui gerakan Restorasi Indonesia, Nasional Demokrat ingin mendorong demokrasi yang berbasiskan warga negara yang kuat yang terpanggil untuk merebut masa depan gemilang dengan keringat dan tangan sendiri.
Kita ingin membangun karakter berbangsa dan bernegara yang dilandasi oleh semangat partisipatif, gotong royong, dan solidaritas.

Negeri ini, membutuhkan perubahan yang tidak sekadar perubahan sirkulasi kekuasaan, melainkan transformasi watak negara kembali kepada jati dirinya, yakni Pancasila.

Saudara-saudara peserta simposium yang saya hormati,
Restorasi Indonesia adalah harapan baru bagi arah negara berdasarkan sejarahnya. Restorasi juga memberikan sinar terang bagi masyarakat yang terbelenggu oleh kegelapan.

Gerakan restorasi nilai-nilai kebangsaan ini sekaligus sebagai jawaban atas tatanan dan praktik ekonomi kronistik dan politik otoriter di masa lalu. Untuk melakukan satu langkah sejarah, membangun visi kenegaraan, konsolidasi nasional mutlak harus kita jalankan. Sebab langkah sejarah adalah langkah yang progresif, langkah yang progresif saudara-saudara, bukan konvensional apalagi mundur.

Langkah maju yang bersifat menjebol dan membangun! Dari panggung ilmiah ini, saya sampaikan Restorasi Indonesia adalah pelaksanaa dari semangat Pancasila yang kontekstual: Bangsa yang semakin mantap bersatu dan bermartabat, Negara yang semakin kuat dan berwibawa, dan Rakyat yang semakin maju sejahtera.

Inilah pandangan saya sebagai anak bangsa, salah seorang penerus estafet republiken, untuk satu tujuan Indonesia Raya dan Jaya.

Saya yakin dan percara bahwa kita semua yang hadir di ruangan ini memiliki tujuan yang sama, yakni Indonesia yang Bermartabat, Indonesia yang kuat, dan Indonesia yang sejahtera.

Jakarta, 30 Januari 2011
Surya Paloh
Pidato Ketua Umum Nasional Demokrat
dalam Seminar Penutup Simposium Restorasi Indonesia.

Tuesday, February 1, 2011

Ekonomi Indonesia Dikuasai Kartel

Jakarta - Perekonomian Indonesia dipandang mulai mengkhawatirkan karena dikuasai oleh sistem kartel. Karena itu, sistem tersebut harus dipecahkan dengan cara apapun. Hal ini diungkapkan pengamat ekonomi Universitas Atma Jaya A Prasetyantoko dalam Seminar Penutup Simposium Nasional Demokrat di Jakarta, Minggu (30/1).

"Fakta di lapangan, kita capek berdiskusi apakah sistem perekonomian kita neolib, intervesionis, komunis. Kita lihat ternyata sistem kartel menguasai perekonomian nasional. Ini harus dipecahkan dengan cara apapun," tegasnya.
Menurut Prasetyantoko ada empat hal yang seharusnya ditegakkan kembali dengan benar, yaitu konstitusi ekonomi yang berprioritas pada kesejahteraan, pertumbuhan dengan kemiskinan yang semakin menurun, likuiditas yang mengarah ke sektor riil, dan kondisi demografi bagus yang segera disiapkan untuk tahun 2025-2030.

"Dengan Indonesia yang berada di Asia sebagai pusat pertumbuhan dunia. Kita harusnya sudah menyiapkan pada saatnya nanti pertumbuhan kita benar-benar berkualitas," paparnya seperti dilansir MI Online.

Indonesia Harus Kembali ke Ekonomi Konstitusi
Paradigma perekonomian Indonesia sebaiknya harus diubah kembali sesuai dengan ekonomi konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Masalahnya perekonomian Indonesia masih dikuasai berbagai kartel dan masih sangat bergantung pada luar negri.

Pengamat ekonomi Hendri Saparini dalam Seminar Penutup Simposium Nasional Demokrat di Jakarta, Minggu (30/1) mengatakan bahwa ekonomi nasional harus dibawa kembali kepada ekonomi konstitusi. Hal tersebut harus dituangkan dalam kebijakan perekonomian pemerintah yang ditujukan untuk kemakmuran rakyat.

"Politik APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) harus sesuai ekonomi konstitusi, yaitu untuk kemakmuran rakyat. Dengan sumber daya alam yang kaya, negara harusnya memberikan pekerjaan yang banyak," kata Hendri.

Tentang ketergantungan terhadap luar negri, Hendri menyebutkan ketergantungan terhadap pembiayaan luar negri masih nyata. Selain itu asing juga diberikan ruang yang luas kepada pengelolaan sumber daya asing dan sektor pendidikan.

"Rp1.600 triliun lebih kita utang sama luar negEri. Pilihan kebijakan dengan luar negri sudah terjadi sejak Orde Baru tidak pernah diubah. Contoh perbankan kita 99% boleh dimiliki asing, padahal Malaysia hanya 20%, Australia 50%," ungkap Hendri.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia boleh saja dibiarkan membesar asal tidak memperbesar kesenjangan ekonomi. Menurut Hendri, sektor pertanian yang merupakan akar perekonomian harus dibereskan.

Lebih lanjut Hendri mengharapkan pemerintah sebaiknya bisa bersikap proteksionis terhadap globalisasi. Kerja sama yang dilakukan dengan negara lain harus disesuaikan dengan struktur ekonomi nasional. "Bila melakukan kerja sama dengan setiap negara harus mengetahui struktur ekonominya bagaimana," ujarnya.

Rakyat Jadi Korban Pasar Bebas
Rakyat tidak boleh menjadi  korban dalam sistem pasar bebas, apalagi terpinggirkan. Sebab inti penyelenggaraan pemerintah adalah melindungi rakyat.  Pemerintah harus selalu siap dengan kebijakan intervensi, supaya rakyat dapat meraih keuntungan dalam setiap proses perubahan perekonomian.

Demikian  dikatakan Ketua Pembina Forum Intelektual Indonesia Prof  Dr Sri Edy Swasono dalam makalahnya bertajuk Kelengahan Kultural dalam Pemikiran Ekonomi yang disampaikan pada Konferensi Guru Besar ke III  yang diselenggarakan Forum Intelektual Indonesia, di Manado, akhir pekan lalu.

"Kita jangan langsung berpuas diri dan berhenti bergerak. Tetapi pemerintah harus terus mengintervensi dengan kebijakan ekonomi kalau ingin rakyat terus bertumbuh. Sebab, bagaimana pun tugas pemerintah ialah melindungi rakyat agar rakyat tidak menjadi korban dari kegiatan ekonomi pasar bebas," tandasnya.

Ia mengingatkan, ekonomi harus terus diintervensi dan diproteksi agar industri dan ekonomi rakyat bukan hanya bertahan, jalan di tempat, tetapi lebih dari itu, ekonomi rakyat terus bertumbuh. Dan bank sebagai agen pembangunan harus terus menerus menyalurkan kredit agar ekonomi rakyat berkembang.

"Jangan sampai terjadi lagi, rakyat tidak bisa mendapatkan  kredit karena alasan ketiadaan agunan, atau karena rakyat miskin, yang kemudian pada akhirnya dana perbankan hanya disalurkan dan dinikmati para pengusaha besar," tegasnya.


Mengapa harus ekonomi rakyat, menurut dia,  karena pemerintah berasal dari rakyat, dan rakyatlah yang membuat ekonomi ini hidup. Ia menunjuk contoh, pada umumnya rakyat yang  bekerja sebagai pekerja-pekerja industri atau pabrik dalam memenuhi kebutuhan hidupnya membeli atau menjadi konsumen bagi barang-barang yang diperdagangkan oleh PKL (pedagang kaki lima).

Sementara itu, pedagang-pedagang PKL yang jumlahnya sangat banyak membeli jualannya dari industri industri yang ada atau membeli dari pengusaha-pengusaha besar. Putarannya, rakyat membeli dari PKL, dan seterusnya. Jika diamati, maka sebenarnya yang membuat perekonomian ini bergerak dan berputar adalah rakyat juga.


Rakyat yang berproduksi dengan menjadi pekerja industri, tetapi rakyat pula yang membeli sebagai konsumen dari PKL-PKL, sementara PKL-PKL membeli jualannya dari industri. "Karena itu sudah sepatutnya, pemerintah membangun kebijakan berbasis melindungi rakyat, dan jangan biarkan rakyat menjadi korban dari pasar bebas. Juga terutama dalam mendesain ekonomi nasional, termasuk di dalamnya ekonomi rakyat, biarlah kita sendiri yang mendesainnya. Jangan serahkan pembuatan desain itu kepada pihak asing," kata doktor ekonomi lulusan Stanford University, Amerika Serikat ini.


Swasono mengingatkan, tidak ada ekonomi yang tujuannya untuk meningkatkan PDB (Produk domestid bruto), lalu kemudian kita berbangga karena PDB kita besar, tetapi rakyat tetap miskin. Tetapi, perlu disadari bahwa setiap hasil atau capaian, termasuk kelebihan yang diperoleh hendaknya diperuntukkan bagi rakyat yang adalah raja atas negeri ini.


"Siapa sebenarnya pasar itu, who are the market? Apakah the Global Financial taycoon, siapakah dia? Yang pasti, kembalikan semua kerja kita kepada rakyat.  Di samping itu, proses pembangunan ekonomi adalah proses humanisasi, bukan dehumanisasi sehingga daulat pasar tidak dibenarkan sama sekali menggusur daulat rakyat,?? katanya. (*/MIOL)


Surya Paloh: Dorong Pemerintah

Surya Paloh

HUT KE-1 NASDEM
Jakarta, Kompas - Organisasi masyarakat Nasional Demokrat bertekad menjadi kekuatan pendorong pemerintah untuk perbaikan nasib republik, sekaligus menjadi media konsolidasi bagi rakyat dalam menyalurkan aspirasi dan kepentingannya.
”Gerakan perubahan untuk restorasi Indonesia adalah ikhtiar kolektif untuk kejayaan dan keutuhan suatu bangsa, negara, dan rakyat. Blok kepemimpinan kolektif memperkecil peluang terjadinya disintegrasi atau perpecahan di dalam bangsa ini. Suatu gerakan yang tidak terjebak dalam konflik kepentingan yang sempit dan sesaat,” ungkap Ketua Umum Pengurus Pusat Nasional Demokrat (Nasdem) Surya Paloh dalam pidato perayaan Hari Ulang Tahun Ke-1 Nasional Demokrat di Jakarta, Selasa (1/2).
Sepanjang satu tahun perjalanannya, kini keanggotaan Nasdem telah menembus angka satu juta. Kemarin, Surya Paloh memberikan kartu tanda anggota secara simbolis kepada Habib Assegaf yang menjadi anggota Nasdem ke-1.057.000. Nasdem telah tersebar di 33 provinsi.
Ketua Panitia HUT Ke-1 Nasdem, Ferry Mursyidan Baldan, mengatakan, ”Pada ulang tahun ke-2 nanti, jumlah anggota diharapkan mencapai 10 juta orang.”
Ferry mengatakan, Nasdem akan segera melengkapi struktur kepengurusan dari tingkat kecamatan hingga provinsi.
”Kami kembangkan pola keorganisasian ini lewat kehadiran. Nasional Demokrat harus hadir di mana-mana. Kami mendorong pengurus wilayah untuk berkreasi lewat program-programnya. Jadi tidak terpusat di Jakarta, tetapi tersebar di semua wilayah,” katanya.
HUT Ke-1 Nasdem ini dirayakan dengan pesta seni tari dan lagu yang dihadiri oleh para anggota dan undangan. (LOK)
http://cetak.kompas.com/read/2011/02/02/02460835/surya.paloh.dorong.pemerintah

Larangan Masuk Nasdem Dilatarbelakangi Perbedaan Misi


Abdurizal Bakrie: Ketua DPP Partai Golkar
Manado, KOMENTAR
Keluarnya keputusan Rapimnas Partai Golkar (PG) yang melarang kadernya masuk dalam kepengurusan ormas Nasdem, ditengarai dilatarbelakangi oleh ketakutan bakal terjadinya penggembosan. Namun kabar tersebut langsung dibantah oleh salah satu fungsionaris Partai Golkar Sulut, Sherpa Manembu.

“Sama sekali tidak ada ke-khawatiran di tubuh Golkar dengan kehadiran Nasdem, walaupun mereka kemung-kinan akan menjadi partai po-litik. Karena memang sudah terbukti partai yang dibentuk oleh mereka yang keluar dari Golkar, tidak akan mampu menjadi saingan yang sepa-dan. Jadi keluarnya ultima-tum melalui keputusan Ra-pimnas lebih disebabkan oleh perbedaan mendasar antara Golkar dan Nasdem,” tegas Ke-tua Pemenangan Pemilu Partai Golkar itu saat ditemui ke-marin (31/01).

Manembu yang ditemui usai rapat DPD menambahkan, ka-der Golkar yang membentuk Nasdem adalah mereka yng gagal sewaktu dipercayakan menjadi pengurus. Jadi kalau-pun mereka membuat partai baru, maka bisa dipastikan akan gagal pula.

Sementara Sekretaris Peme-nangan Pemilu Partai Golkar, Tonny Kaunang menjelaskan, perbedaan mendasar antara Golkar dan Nasdem terletak pada misi mencapai tujuan ideologi perjuangan. Keduanya memang mempunyai tujuan yang sama, yakni memper-jungkan masyarakat yang makmur adil dan berdemo-krasi. Namun cara mencapai tujuan tersebut terdapat per-bedaan yang saling berten-tangan. 

“Golkar mencapai tujuan de-ngan masuk dalam supra struktur politik, sedangkan Nasdem lebih menekankan ti-dak masuk pada sistem alias berada di luar. Jadi itulah yang melandasi keluarnya keputu-san Rapim-nas,” ung-kapnya. 

Keputusan Rapimnas, lanjut dia, memang hanya spe-sifik mela-rang keder masuk Nasdem. Hal itu dika-renakan sejarah yang mela-tarbelakanginya, dimana Nas-dem dibentuk oleh sejumlah kader Golkar. “Larangan terse-but lebih ditujukan pada ka-der Golkar yang duduk di legis-latif dan pengurus. Karena mereka dianggap lebih berpo-tensi menyelewengkan per-juangan partai, se-lain ten-tunya su-dah tidak etis,” te-rangnya.

Bagi yang ber-sikeras te-tap berga-bung dengan Nasdem, menu-rut Kaunang, mereka akan diberikan sanksi tegas kendati belum dibuat peraturan orga-nisasi yang mengatur meka-nisme pemberian sanksinya. “Untuk Sulut sendiri belum ditemukan kader Golkar di le-gislatif yang menyeberang ke Nasdem,” paparnya.(vtr)

http://www.hariankomentar.com/lkOtonomi.html

Nasdem Tetap Berpolitik


Rapimnas Nasional Demokrat
JAKARTA, KOMPAS.com  Ketua Umum Nasional Demokrat Surya Paloh kembali menegaskan, organisasi kemasyarakatan yang dipimpin dan dibentuknya tidak akan menjadi partai politik. Namun, Nasdem akan menjadi ormas yang mengerti politik dan berpolitik.

"Saya katakan ormas. Sebagai ormas, dia jelas ormas yang mengerti politik dan berpolitik," katanya seusai menutup Rapat Pimpinan Nasional I Nasdem di Jakarta Convention Center, Selasa (1/2/2011).

Paloh menyatakan, Nasdem mengakomodasi anggota dari berbagai latar belakang politik dan profesi berbeda. Meskipun dikatakan sebagai ormas yang berpolitik, Paloh berpesan agar setiap anggota tidak bermain politik dan politicking.

"Dilarang bermain politik dan politicking di antara kita. Modal kita keterbukaan. Dari keterbukaan, keikhlasan, kejujuran, berbagai masalah insya Allah dapat terlewati," katanya.

Ketika ditanya harapannya, Paloh menyampaikan, ke depan Nasdem memberikan kesempatan kepada pimpinan wilayah untuk mengonsolidasi posisi dan peran masing-masing sehingga memahami visi dan misi Nasdem.

"Skala prioritas bisa ikut serta membangun semangat masyarakat yang terjebak frustrasi skeptisme. Masih ada harapan kalau kita bersatu," katanya.

Sebelum rapat pimpinan berikutnya tahun depan, ditargetkan anggota Nasdem sudah lebih dari 10 juta orang. Saat ini anggota Nasdem di seluruh Indonesia lebih dari 1 juta orang. Kepengurusan Nasdem pun telah terbentuk di 33 provinsi.