Friday, February 11, 2011

SIKAP KEBANGSAAN NASIONAL DEMOKRAT


Amuk massa kembali datang memporak-porandakan kehidupan kebangsaan kita di awal tahun 2011 ini. Dalam hitungan jam, dua peristiwa besar yakni penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Banten dan penyerangan gereja dan fasilitas umum di Temanggung, Jawa Tengah.

Dalam dua peristiwa yang terjadi hanya berselang sehari itu, aparat penegak hukum seperti tidak berdaya menghentikan kekerasan dan kemarahan massa. Indonesia sebagai negara demokrasi tidak mampu memberikan perlindungan bagi warga negara. Amok massa atas nama “orang banyak” telah menginjak-nginjak negara hukum yang menjadi basis konstitusi kita dalam melindungi warganya.

Kita sungguh merasakan prihatin dengan situasi carut-marut ini. Konflik horizontal yang mengusung identitas kelompok telah memudarkan nilai dasar Pancasila. Para founding fathers menyatakan bahwa Indonesia harus bangga dengan keniscayaan kebhinekaan sebagai realitas kemasyarakatannya.

Bung Karno memberikan kerangka paradigmatik, bahwa ruh dari Pancasila adalah sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi yang berarti perpaduan antara kebangsaan dan perikemanusiaan. Kehendak untuk membangun peradaban kebangsaan harus sejalan dengan penghargaan terhadap prinsip hak asasi manusia. Artinya, mencederai hak asasi manusia sama halnya dengan mencederai kebangsaan itu sendiri.

Kita sungguh kecewa, ketika pemerintah gagal menjadi pelindung bagi hak-hak kaum lemah dan minoritas dipaksa untuk tercerabut dari akar budayanya. Jaminan kebebasan untuk menjalankan berkeyakinan merupakan hak fundamental negara yang dijamin oleh Konstitusi Republik Indonesia, dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.

Atas dasar situasi nasional yang berkembang maka Nasional Demokrat bersikap:

1. Penyelenggara Negara kembali Berpegang Teguh pada Landasan Konstitusional
Pemerintah adalah lokomotif pelaksanaan setiap perintah konstitusi karena memiliki instrumen sampai ke tingkat paling bawah. Namun, meningkatnya konflik horizontal dan kekerasan menunjukkan pemerintah telah abai dan lalai dalam menunaikan amanat konstitusionalnya.

Pemerintah sebagai pemegang komando atas nama negara harus berpijak pada prinsip dan aturan yang konstitusional untuk melindungi dan menjamin kelompok masyarakat. Karena itu, tak patut jika pemerintah hanya sekadar memberikan seruan, imbauan, ungkapan keprihatinan, atau statemen kecaman saja!

Pancasila sebagai nilai dasar belum terjelma dalam etika sosial-politik. Sehingga kegamangan terjadi dalam proses penyelenggaraan negara. Banyak hal dalam perubahan sistem politik dan tata pemerintahan yang sebenarnya tidak selaras dengan Pancasila sebagai normanya.
Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan jaminan kebebasan beragama, Pasal 28E (Perubahan II) ayat 2 disebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. Dan dalam ayat 3 (Perubahan II) menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

Pasal 28I UUD 1945 juga mengamanatkan bahwa kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Bahkan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan.

Dalam penjelasan UUD 1945, sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab berada dalam satu kalimat dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Mohammad Hatta (proklamator) dan Driyarkara bersepakat menyebut sila pertama dan kedua itu sebagai ”landasan moral” dalam Pancasila.

Pemerintah harus menegakkan hukum bagi para pelaku kekerasan, intoleransi, dan diskriminasi atas dasar konstitusi.

2. Lemahnya Peran Negara dalam Memajukan Harmoni dan Integrasi Sosial
Fakta-fakta tentang meninggalnya tiga anggota jemaat Ahmadiyah, pembakaran rumah dan mobil di Banten, amuk ribuan massa yang menimbulkan ketakutan penduduk, pembakaran, perusakan rumah ibadah, kendaraan, sekolah, dan kantor pengadilan di Temanggung, Jawa Tengah adalah manifestasi dari ketidakmampuan negara dalam menjalankan fungsinya. Hukum tergantikan dengan tindakan kolektif yang destrutif. Atas nama suara terbanyak, hukum bisa digunakan untuk memarginalkan kelompok yang kecil. Atas nama orang banyak, kebenaran dan keadilan dikalahkan dalam tempo yang singkat.

Disinilah kita harus mengembalikan bahwa fungsi negara adalah menjaga dan melindungi segenap warga negara, bukan sekadar menyatakan keprihatinan. Kegagalan negara dalam mengantisipasi persoalan ini merupakan kegagalan sistemik aparatur hukum negara, baik pusat dan daerah. Negara sepertinya tak berdaya untuk merespon itu semua. Fungsi alat negara adalah menyelenggarakan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

Situasi ini menuntut untuk tujuan bernegara harus kembali direstorasi untuk terwujudnya suatu kondisi harmoni dan intergrasi social budaya masyarakat Indonesia dalam nilai-nilai yang keperimanusiaan, kesejahteraan, dan kecerdasaan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3. Disintegritas Kepemimpinan Nasional
Situasi carut-marut ini tidak hanya bias dari mis-manajemen sistem penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Faktor utama dari persoalan yang sedang kita alami adalah distintegrasi kepemimpinan nasional.

Kepemimpinan nasional sekarang ini terlalu sibuk dengan personifikasi diri yang berakibat warganya semena-mena main hakim sendiri. Kita seolah kehilangan elan kenegarawaan bagi para penyelenggara negara yang memegang kendali arah kenegaraan. Rakyat melihat bahwa kepemimpinan nasional sibuk dengan agenda sendiri-sendiri.

Kepemimpinan nasional harus bertindak tegas dan memilik integritas dalam menyelesaikan persoalan disintegrasi sosial kemasyarakatan yang mengancam keutuhan Indonesia. Keputusan negarwan harus melandasi setiap kebijakan yang ditempuh, bukan didasari atas pertimbangan kepentingan politik jangka pendek yang selalu menimbulkan bahaya laten.

Atas dasar pertimbangan-pertimbangan di ataslah, Nasional Demokrat menyatakan bahwa kita memerlukan penegakan sistem hukum yang berlandasakan konstitusional, memelihara dan memajukan perikehidupan umum sesama warga negara, dan menciptakan karakter kepemimpinan nasional yang berintegritas.

Jakarta, 10 Februari 2011
Surya Paloh
Ketua Umum Pengurus Pusat Nasional Demokrat