Tuesday, February 1, 2011

Ekonomi Indonesia Dikuasai Kartel

Jakarta - Perekonomian Indonesia dipandang mulai mengkhawatirkan karena dikuasai oleh sistem kartel. Karena itu, sistem tersebut harus dipecahkan dengan cara apapun. Hal ini diungkapkan pengamat ekonomi Universitas Atma Jaya A Prasetyantoko dalam Seminar Penutup Simposium Nasional Demokrat di Jakarta, Minggu (30/1).

"Fakta di lapangan, kita capek berdiskusi apakah sistem perekonomian kita neolib, intervesionis, komunis. Kita lihat ternyata sistem kartel menguasai perekonomian nasional. Ini harus dipecahkan dengan cara apapun," tegasnya.
Menurut Prasetyantoko ada empat hal yang seharusnya ditegakkan kembali dengan benar, yaitu konstitusi ekonomi yang berprioritas pada kesejahteraan, pertumbuhan dengan kemiskinan yang semakin menurun, likuiditas yang mengarah ke sektor riil, dan kondisi demografi bagus yang segera disiapkan untuk tahun 2025-2030.

"Dengan Indonesia yang berada di Asia sebagai pusat pertumbuhan dunia. Kita harusnya sudah menyiapkan pada saatnya nanti pertumbuhan kita benar-benar berkualitas," paparnya seperti dilansir MI Online.

Indonesia Harus Kembali ke Ekonomi Konstitusi
Paradigma perekonomian Indonesia sebaiknya harus diubah kembali sesuai dengan ekonomi konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Masalahnya perekonomian Indonesia masih dikuasai berbagai kartel dan masih sangat bergantung pada luar negri.

Pengamat ekonomi Hendri Saparini dalam Seminar Penutup Simposium Nasional Demokrat di Jakarta, Minggu (30/1) mengatakan bahwa ekonomi nasional harus dibawa kembali kepada ekonomi konstitusi. Hal tersebut harus dituangkan dalam kebijakan perekonomian pemerintah yang ditujukan untuk kemakmuran rakyat.

"Politik APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) harus sesuai ekonomi konstitusi, yaitu untuk kemakmuran rakyat. Dengan sumber daya alam yang kaya, negara harusnya memberikan pekerjaan yang banyak," kata Hendri.

Tentang ketergantungan terhadap luar negri, Hendri menyebutkan ketergantungan terhadap pembiayaan luar negri masih nyata. Selain itu asing juga diberikan ruang yang luas kepada pengelolaan sumber daya asing dan sektor pendidikan.

"Rp1.600 triliun lebih kita utang sama luar negEri. Pilihan kebijakan dengan luar negri sudah terjadi sejak Orde Baru tidak pernah diubah. Contoh perbankan kita 99% boleh dimiliki asing, padahal Malaysia hanya 20%, Australia 50%," ungkap Hendri.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia boleh saja dibiarkan membesar asal tidak memperbesar kesenjangan ekonomi. Menurut Hendri, sektor pertanian yang merupakan akar perekonomian harus dibereskan.

Lebih lanjut Hendri mengharapkan pemerintah sebaiknya bisa bersikap proteksionis terhadap globalisasi. Kerja sama yang dilakukan dengan negara lain harus disesuaikan dengan struktur ekonomi nasional. "Bila melakukan kerja sama dengan setiap negara harus mengetahui struktur ekonominya bagaimana," ujarnya.

Rakyat Jadi Korban Pasar Bebas
Rakyat tidak boleh menjadi  korban dalam sistem pasar bebas, apalagi terpinggirkan. Sebab inti penyelenggaraan pemerintah adalah melindungi rakyat.  Pemerintah harus selalu siap dengan kebijakan intervensi, supaya rakyat dapat meraih keuntungan dalam setiap proses perubahan perekonomian.

Demikian  dikatakan Ketua Pembina Forum Intelektual Indonesia Prof  Dr Sri Edy Swasono dalam makalahnya bertajuk Kelengahan Kultural dalam Pemikiran Ekonomi yang disampaikan pada Konferensi Guru Besar ke III  yang diselenggarakan Forum Intelektual Indonesia, di Manado, akhir pekan lalu.

"Kita jangan langsung berpuas diri dan berhenti bergerak. Tetapi pemerintah harus terus mengintervensi dengan kebijakan ekonomi kalau ingin rakyat terus bertumbuh. Sebab, bagaimana pun tugas pemerintah ialah melindungi rakyat agar rakyat tidak menjadi korban dari kegiatan ekonomi pasar bebas," tandasnya.

Ia mengingatkan, ekonomi harus terus diintervensi dan diproteksi agar industri dan ekonomi rakyat bukan hanya bertahan, jalan di tempat, tetapi lebih dari itu, ekonomi rakyat terus bertumbuh. Dan bank sebagai agen pembangunan harus terus menerus menyalurkan kredit agar ekonomi rakyat berkembang.

"Jangan sampai terjadi lagi, rakyat tidak bisa mendapatkan  kredit karena alasan ketiadaan agunan, atau karena rakyat miskin, yang kemudian pada akhirnya dana perbankan hanya disalurkan dan dinikmati para pengusaha besar," tegasnya.


Mengapa harus ekonomi rakyat, menurut dia,  karena pemerintah berasal dari rakyat, dan rakyatlah yang membuat ekonomi ini hidup. Ia menunjuk contoh, pada umumnya rakyat yang  bekerja sebagai pekerja-pekerja industri atau pabrik dalam memenuhi kebutuhan hidupnya membeli atau menjadi konsumen bagi barang-barang yang diperdagangkan oleh PKL (pedagang kaki lima).

Sementara itu, pedagang-pedagang PKL yang jumlahnya sangat banyak membeli jualannya dari industri industri yang ada atau membeli dari pengusaha-pengusaha besar. Putarannya, rakyat membeli dari PKL, dan seterusnya. Jika diamati, maka sebenarnya yang membuat perekonomian ini bergerak dan berputar adalah rakyat juga.


Rakyat yang berproduksi dengan menjadi pekerja industri, tetapi rakyat pula yang membeli sebagai konsumen dari PKL-PKL, sementara PKL-PKL membeli jualannya dari industri. "Karena itu sudah sepatutnya, pemerintah membangun kebijakan berbasis melindungi rakyat, dan jangan biarkan rakyat menjadi korban dari pasar bebas. Juga terutama dalam mendesain ekonomi nasional, termasuk di dalamnya ekonomi rakyat, biarlah kita sendiri yang mendesainnya. Jangan serahkan pembuatan desain itu kepada pihak asing," kata doktor ekonomi lulusan Stanford University, Amerika Serikat ini.


Swasono mengingatkan, tidak ada ekonomi yang tujuannya untuk meningkatkan PDB (Produk domestid bruto), lalu kemudian kita berbangga karena PDB kita besar, tetapi rakyat tetap miskin. Tetapi, perlu disadari bahwa setiap hasil atau capaian, termasuk kelebihan yang diperoleh hendaknya diperuntukkan bagi rakyat yang adalah raja atas negeri ini.


"Siapa sebenarnya pasar itu, who are the market? Apakah the Global Financial taycoon, siapakah dia? Yang pasti, kembalikan semua kerja kita kepada rakyat.  Di samping itu, proses pembangunan ekonomi adalah proses humanisasi, bukan dehumanisasi sehingga daulat pasar tidak dibenarkan sama sekali menggusur daulat rakyat,?? katanya. (*/MIOL)