Thursday, January 13, 2011

STRATEGI KEBUDAYAAN DALAM SPIRIT BHINNEKA TUNGGAL IKA

Sri Sultan Hamengku Buwono X


Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Om Swastyastu,
Yth. Keynote Speaker Simposium, Bapak I Gde Ardhika,
Yth. Gubernur Propinsi Bali,
Yth. Rektor Universitas “Udayana” Denpasar,
Yth. Ketua Umum Nasional Demokrat beserta Pengurus Pusat lainnya,
Yth. Para Tamu Undangan dan Hadirin, khususnya para Pembicara,
Moderator dan seluruh Peserta Simposium yang berbahagia,

MEMBAYANGKAN keberagaman Indonesia tapi tetap dalam satu Bangsa, secara metaforis di dada setiap manusia Indonesia tersemat simbol Garuda Pancasila dengan kaki mencengkeram kuat sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Artinya, meski memiliki keragaman etnik, agama dan keyakinan, budaya dan tradisi, serta bahasa yang paling kaya sekaligus problematik di dunia, kita tetaplah “Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa: Indonesia” dalam bingkai NKRI yang tak boleh diubah, karena sudah menjadi realitas yang final.

Keberagaman Indonesia
Keberagaman itu bagaikan mozaik yang menghiasi persada Nusantara, yang begitu indah dan mempesona di tangan para komponis dan penyair. Mereka menuangkannya ke dalam untaian syair-syair lagu dan deretan bait-bait puisi, yang menggambarkan betapa besar keajaiban keBhinnekaan Ibu Pertiwi yang membentang beribu kilometer memeluk bumi. Tetapi, ketika terjadi modernisasi perkembangan ini seringkali memicu prasangka, ketegangan dan konflik.

Apalagi modernisasi itu juga diikuti mobilitas sosial serta demografis dan geografis, diiringi pula oleh meningkatnya kualitas masalah-masalah agama, etnik dan budaya. Karena dalam masyarakat majemuk itu sendiri, memang memiliki karakter yang secara relatif menyimpan potensi konflik. Sekarang ini, kelompok-kelompok masyarakat gampang eksplosif, hanya oleh sebab sedikit isu saja telah memicu kekerasan fisik dan kerusuhan.

Konflik tidak harus terjadi sekiranya warga masyarakat dapat menyikapi kehidupan yang pluralistik. Sikap fanatisme sempit dan kecurigaan tidak akan mewujud, jika masyarakat mau melihat perbedaan sebagai keniscayaan. Padahal, jika merefleksi sejarah Lahirnya Pancasila telah menandai adanya sublimasi dan kristalisasi dari pandangan hidup dan nilai-nilai budaya luhur bangsa yang mempersatukan keragaman bangsa kita menjadi bangsa yang satu, Indonesia.

Pada dasarnya di dalam masyarakat plural terdapat berbagai unsur masyarakat yang memiliki ciri-ciri budaya yang berbeda-beda. Masing-masing unsur relatif hidup dalam dunianya sendiri-sendiri. Hubungan antarunsur yang membentuk masyarakat plural tersebut relatif rendah dan terbatas. Hubungan antarunsur yang berbeda itu juga ditandai oleh corak hubungan yang dominatif, dan karenanya juga bersifat diskriminatif.

Kedudukan berbagai unsur di dalam masyarakat itu hendaknya diposisikan secara setara, demi terciptanya keadilan di antara berbagai unsur yang saling berbeda tersebut. Konsep dan model masyarakat yang beranekaragam itu sendiri memang sedang berproses ‘menjadi’ Indonesia serta masih terus dicari bentuknya dan diperdebatkan.

Para Hadirin, Peserta Simposium yang saya hormati,
KOMPLEKSITAS masyarakat majemuk tidak hanya ditandai oleh perbedaan horisontal, pada perbedaan suku, ras, bahasa, adat-istiadat, dan agama. Namun, di situ terdapat pula perbedaan vertikal yang diperoleh melalui capaian prestasi. Indikasinya tampak dalam strata sosial ekonomi, posisi politik, tingkat pendidikan, kualitas pekerjaan dan kondisi permukiman.

Konflik Sosial Dalam Masyarakat Majemuk
Sedangkan perbedaan horisontal diterima sebagai warisan, yang diketahui kemudian bukan faktor utama dalam insiden kerusuhan sosial yang melibatkan antarsuku. Suku tertentu memang bukan dilahirkan untuk memusuhi suku lainnya. Bahkan tidak pernah terungkap dalam doktrin ajaran mana pun yang menanamkan permusuhan etnik. Perbedaan-perbedaan vertikal itu berpotensi sebagai sumber konflik, antara lain karena perebutan sumberdaya, alat-alat produksi dan akses ekonomi lainnya.

Selain itu juga benturan-benturan kepentingan kekuasaan, politik dan ideologi, serta perluasan batas-batas identitas sosial budaya dari sekelompok etnik. Perbedaan vertikal justru menjadi faktor utama konflik sosial. Semakin tinggi posisi politik dan peran dominatif suatu kelompok etnik, akan semakin kuat menimbulkan prasangka berupa stereotipe negatif, yang menjadi sumber konflik. Suatu kelompok etnik minoritas juga berpeluang memiliki peran dominatif, jika kelompok tersebut secara substansial menguasai struktur politik atau ekonomi di daerah tertentu.

Kontak Antar Etnik
Indonesia dikenal sebagai bangsa dengan sekitar 300 suku bangsa dan masing-masing mempunyai identitas kebudayaan sendiri, yang ada keterikatan secara emosional dan nilai terhadap suatu kelompok. Di sini mungkin tepat untuk menggunakan hipotesis kontak Allport (2000), bahwa kontak dengan orang dari kelompok yang tidak disukai, dalam kodisi yang tepat, bisa menumbuhkan rasa suka, saling menghargai atau setidaknya menurunkan prasangka.

Prasangka merupakan reaksi emosional terhadap out-group yang dipicu oleh persepsi in-group. Konsep ini juga tidak bisa dilepaskan dari stereotip, yakni seperangkat penilaian dari kelompok lain dalam hubungannya dengan ingroup. Banyak stereotip positif maupun negatif yang tersebar di masyarakat, yang merupakan penilaian atau taksiran suatu kelompok oleh kelompok lain.

Karena itu tidak menggambarkan sifat riil kelompok yang dinilai, maka wajar jika ada orang yang terkejut jika menemukan orang Batak yang lemah lembut. Stereotip ini juga memicu prasangka antarkelompok, misalnya orang Jawa yang memiliki atasan orang Batak bisa merasa sangat cemas jika berbuat kesalahan meski kecil, karena ia berprasangka bahwa atasannya pasti akan marah.

Kehidupan berbangsa bukan sesuatu yang mudah apalagi dalam bangsa multikultur, karena itu sikap untuk ‘membiarkan dan semuanya akan berjalan sendiri’ bukan sikap yang arif. Dalam upaya membangun masyarakat yang plural itu, seharusnya ada interaksi aktif di antara unsur-unsurnya melalui proses saling mengenal, menyapa dan belajar antaretnik.

Para Hadirin, Peserta Simposium yang saya hormati,
PRINSIP demokrasi hanya mungkin hidup dan berkembang mantap dalam masyarakat sipil yang terbuka, yang warganya mempunyai toleransi terhadap perbedaan-perbedaan, karena adanya kesetaraan derajat kemanusiaan yang saling menghormati, dan yang diatur oleh hukum yang adil dan beradab yang mendorong kemajuan dan menjamin kesejahteraan hidup warganya.

Demokratisasi Berbasis Multikultural Masyarakat terbuka adalah suatu masyarakat yang membuka diri bagi pembaharuan dan perbaikan. Masyarakat terbuka itu harus berorientasi ke depan, selalu mempertimbangkan globalisasi yang membawa serta kemajuan teknologi, dan berpijak pada kenyataan, bahwa kita mendiami suatu Benua Maritim Indonesia serta aspirasi bangsa yang tertuang dalam nasionalisme baru yang menghargai pluralitas budaya dalam masyarakat multikultural.

Dalam menyikapi pluralitas bangsa, pendekatan sentralistik dan totalitarian harus ditinggalkan. Sikap yang melihat perubahan, ketidakpastian dan ketidakberaturan sebagai sesuatu yang menakutkan, sudah masanya ditinggalkan. Cara-cara pengendalian melalui pendekatan keamanan, keseragaman, keberaturan total sudah tidak dapat lagi dipertahankan.

Dikotomi konsep keteraturan-kekacauan, kesatuan-separatisme, integrasi-disintegrasi, keseragaman-keanekaragaman, sentralisasi-desentralisasi, homogenitas-heterogenitas yang mewarnai kehidupan sosial, harus dicarikan sintesis baru, sehingga dapat mendorong daya kreativitas sosial. Selama ini kita membebani hidup kita dengan berbagai ketakutan: kekacauan yang tidak dapat dipahami, keanekaragaman yang tidak dapat disatukan, turbulensi yang tidak dapat dikendalikan, chaos yang tidak dapat diperkirakan.

Padahal keberaturan dan ketidakberaturan adalah dua hal yang saling mengisi. Melenyapkan ketidakberaturan berarti melenyapkan daya perubahan dan kreativitas. Dunia chaos adalah dunia yang selalu dipenuhi energi kegelisahan. Kebudayaan yang tidak gelisah adalah kebudayaan yang telah mati. Kegelisahan untuk bertumbuh inilah yang harus ditanamkan pada setiap komponen bangsa yang plural ini.

Otonomi daerah dapat diberikan pemaknaan, tidak saja ‘kebebasan daerah untuk menentukan dirinya sendiri’, tetapi juga kebebasan dalam membangun ‘garis-garis dialogis’ antardaerah. Garis-garis penghubung itu sangat dinamis dan kompleks, yang memungkinkan kita mengembara dalam kemungkinan teritorial dan makna baru yang kaya. Di mana dimungkinkan terjadinya dialog budaya antaretnik, sehingga tercapai suatu transformasi dan akulturasi budaya yang memberikan nilai tambah bagi pengkayaan budaya Indonesia Baru nanti. Oleh sebab itu, setiap komponen bangsa harus merupakan sistem terbuka. Artinya, harus selalu mengantisipasi tantangan dan pengaruh dari luar dirinya, baik terhadap tantangan regional maupun global. Oleh sebab itu, diperlukan kemampuan untuk merasa, kemampuan berempati, dan kemampuan pemahaman, sebagai inti dari prinsip dialogis.

Para Hadirin, Peserta Simposium yang saya hormati,
MARILAH kita berpikir keras apa yang membuat Soekarno hebat. Tidak lain karena keterbukaannya, kemurnian apresiasinya terhadap perbedaan, keyakinannya yang teguh dalam kebhinnekaan dan keanekaragaman. Indonesia, seperti yang secara tepat Soekarno katakan, “menjadi milik” semuanya. Semua untuk satu, dan satu untuk semua.

Strategi Budaya Dewasa ini, pandangan luas ini ditantang oleh orang-orang kita sendiri --oleh mereka yang dididik di seberang sana di mana konsep tersebut dianggap tabu. Orang-orang tersebut berada di mana-mana, termasuk di lembaga eksekutif, badan legislatif, partai politik dan di jalanan. Beberapa dari mereka mengklaim sebagai militan tapi anti kekerasan, lainnya menyetujui kekerasan. Mereka menyembunyikan konspirasi di antara mereka, tapi sejatinya mereka memiliki visi yang sama, misi, agenda dan ambisi politik yang memaksakan kehendak.

Begitu banyak isu seputar pluralisme dan keragaman bangsa, itu semua “diciptakan” untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari isu sesungguhnya, seperti tingginya angka kemiskinan, ketimpangan ekonomi, kasus-kasus mafia hukum, peradilan dan pajak, Bank Century dan kontrak-kontrak sumberdaya alam dengan korporasi asing. Marilah kita bersatu untuk menghadapi isu yang sesungguhnya. Marilah kita akhiri konflik antara singural dan plural, mari kita kembali pada keBhinekaan Tunggal Ika-an, dan dengan spirit itu pula menyelamatkan negara ini dari degradasi yang lebih parah.

Ketika kita jenuh menjalani hidup, jalan yang bijak adalah menyelam ke danau kebudayaan. Di sana airnya jernih, sejernih Sang Kudus, sebiru nirmala Yang Maha Pencipta. Dengan metafora jernihnya “air kebudayaan” itu, pendekatan budaya seharusnya menjadi aras utama upaya merajut dan merekatkan budaya-budaya Nusantara menjadi budaya Indonesia Baru. Itulah, saya kira, Indonesia ke depan yang harus kita rengkuh bersama melalui pencapaian “Strategi Kebudayaan dalam Spirit Bhinneka Tunggal Ika” dalam rangka “Restorasi Kebudayaan Nasional”.

Hal ini sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru, tetapi terlalu lama tersimpan dalam sebuah bilik terkunci, untuk kita buka kembali di tengah-tengah pergaulan antarbangsa-bangsa di dunia, sekaligus guna mempersatukan bangsa ini, serta merekahkannya dalam sebuah realita baru bernama Indonesia, yang lebih berkeadilan, sejahtera, aman dan damai.

Akhir kata, semoga Ida Sang Hyang Widhi Waça, Tuhan Yang Maha Esa, senantiasa melimpahkan berkah serta rahmat-Nya, sehingga Simposium ini memberikan hasil yang bermanfaat guna lebih memperkokoh semangat ke-Bhinneka Tunggal Ika-an di antara anak bangsa.

Sekian, terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Om çantih, çantih, çantih, Om.
Denpasar, 21 Desember 2010