Wednesday, September 1, 2010

MENGAPA RESTORASI INDONESIA [2]

Pengantar 
Kelompok masyarakat menengah Indonesia dan kaum intelektual kritis [ khusnya yang ada di wilayah Provinsi Sulawesi Utara] acap kali menanyakan apa sejatinya makna “restorasi Indonesia”? yang dicanangkan di Jakarta, tanggal 1 Februari 2010 di bawah penamaan Nasional Demokrat. Untuk memberikan penjelasan yang memadai terhadap pertanyaan tersebut, rasanya tidak cukup hanya dengan menyodorkan buku bacaan tipis berisi manifesto, serta visi-misi Nasional Demokrat kepada kalangan tersebut sebagai penjelas. 

Kendati disadari, kalau hipotesis-hipotesis yang dijadikan sebagai tiang pancang penopang gerakan, antara lain: (I) bahwa reformasi Indonesia yang telah dan sedang menghentar bangsa Indonesia menjadi negara demokrasi, justru telah merumitkan tata cara pemerintahan sehingga kesejahteraan umum menjadi sulit diwujudkan. (2) bahwa demokratisasi politik yang ada hanya menghasilkan rutinitas kekuasaan tanpa melahirkan pemimpin berkualitas dan layak diteladani. (3) bahwa demokratisasi yang tidak berorientasi kepada kepentingan publik hanya menjadi proyek reformasi tak bermakna. Dapat kami akui, hipotesis-hipotesis ini belum sepenuhnya mendeskripsikan persoalan-persoalan struktural yang dihadapi bangsa Indonesia untuk di restorasi. 

Meskipun demikian, substansi persoalan: sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan yang dihadapi masyarakat untuk disikapi dan diartikulasikan, seperti antara lain (1) demokratisasi Indonesia harus berlangsung dinamis, dan menjadi sarana persandingan keberagaman demi untuk kesatuan, ketertiban, kompetisi, persamaan, kebebasan dan kesejahteraan. Dan, (2) demokratisasi di Indonesia harus bertumpu pada kewargaan yang kuat, dan diwujudkan dengan tangan sendiri yang berkeringat untuk menggapai masa depan bangsa yang gemilang, telah dapat terformulasikan, dan ditindak lanjuti, melalui pintu masuk menggalang solidaritas kesosialan, kebudayaan dan kepolitikan secara nasional. Berikut narasi argumentasi mengapa Nasional Demokrat mencanangkan gerakan Restorasi Indonesia. 

V. Lemahnya penetapan kebijakan sosial dan budaya 
Bangunan sistem sosial dan kebudayaa bersumber dari realitas pluralisme, yang saling menopang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, yang bangkit bersama karena kesamaan penderitaan untuk meretas penindasan penjajahan. Inilah modal sosial budaya Indonesia di awal kemerdekaan. Kemerdekaan Indonesia seharusnya mampu mengembangkan modal sosial dasar ini kedalam kebangsaan. Setelah enam pulu lima tahun merdeka, karakter kebudayaan bangsa bukan tambah kuat, malah makin rapuh. Konflik antar etnis, antar penganut agama, antar golongan dan antar ras mencuat hanya karena persoalan-persoalan kecil, yang seolah mengerdilkan nilai kebangsaan Indonesia. Budaya premanisme adalah wujud kristal kegagalan modal sosial yang didukung oleh kegagalan kebijakan ekonomi, khususnya dibidang ketenagakerjaan (employment based economy). 

Kegagalan mengelola kebudayaan nasional disebabkan oleh kegagalan pemerintah mengembangkan sistem pendidikan dan tiadanya keteladanan pemimpin. Hampir tidak ditemukan sekarang seorang pemimpin yang mau hidup sederhana, walau lautan massa yang dipimpinnya selalu dalam kesederhanaan atau lebih kemiskinan. 

Kebudayaan local yang seharusnya memperkaya budaya bangsa, terkekang dalam konsep kesatuan bangsa yang cenderung diartikan sebagai keseragaman cara berfikir dan perilaku bangsa. Kritik sosial yang mencerminkan budaya sehat dalam pluralisme dianggap tabu, dijauhi dan bahkan dikecam. Semua kritik adalah konstruktif karena ia memperkaya cara berfikir. Ungkapan kritik harus konstruktif sesungguhnya mempertontonkan kebodohan mereka yang anti kritik. Orang berjiwa bebas merdeka mendorong budaya kritik karena selalu mencari cara kehidupan yang lebih baik dan benar. Sebaliknya, orang yang berjiwa budak atau penindas menolak kritik karena kehidupannya terancam oleh perubahan. Hampir semua pemimpin Indonesia tidak membangun budaya kritik, karena mereka sadar bahwa kritik dapat mengganggu kepemimpinan mereka. Padahal kreativitas nasional tidak akan terbangun optimal bila budaya kritik, budaya kreasi dan karakter independent masyarakat belum menjadi bagian dari kebudayaan nasional. Terbentuknya budaya baru itu bergantung pada keberhasilan sistem pendidikan nasional. 

Sistem jaminan sosial adalah kunci kuatnya sistem sosial. Tidak mungkin prilaku berbudaya dan beradab dalam kehidupan bangsa tumbuh berkembang, bila lautan kemiskinan masih menjadi fenomena sosial. Budaya bekerja keras dalam kehidupan bangsa justru melemahkan karena sebagian kecil anak bangsa dengan fasilitas-fasilitas atau koneksinya mampu menikmati kemakmuran tanpa kerja keras. Sementara, banyak warga bangsa ini yang bekerja keras siang malam, namun tetap saja tidak berubah nasibnya. Prilaku masyarakat yang bekerja keras namun tidak ditopang sistem intensif sosial yang adil bukan saja merusak modal kerja, tetapi secara perlahan menghancurkan kebudayaan dan modal sosial bangsa seperti yang sementara ini dialami bangsa Indonesia. 

VI. Lemahnya penegakan hukum dan keadilan
Yang paling menyedihkan, Negara Indonesia sebagai negara hukum telah berubah menjadi Negara kekuasaan. Citra hukum yang mengabdi pada keadilan telah redup dalam Negara Proklamasi. Lembaga dan aparat penegak hukum terjebak dalam formalisme prosedur yang mengabaikan rasa keadilan rakyat. Hampir setiap hari, layar kaca menayangkan bagaimana para kaum papa, berteriak-teriak histeris menangis, anak-anak kecil berlarian panik, dikejar-kejar satuan polisi pamong praja, ditangkap dan dipukuli dengan tangan dan pentungan, rumah mereka dibongkari, bahkan dibakar. Anak bangsa diperlakukan bagai anak hewan oleh aparat negara yang seharusnya memberikan perlindungan dan rasa aman kepada mereka. Mahasiswa terjebak perkelahian antar sesama mahasiswa di dalam kampus. Rakyat yang menganggur karena sulit memperoleh pekerjaan, ditutup peluangnya untuk tinggal dan hidup di Ibu Kota. Bahkan diantara mereka, karena tekanan hidup berkeliaran di stasiun bis, dan pasar-pasar tradisional, dirasia dan ditangkapi petugas keamanan, kemudian dijebloskan kedalam tahanan oleh aparat penegak hukum dengan alasan-alasan praktis yang sulit diterima akal yang waras. 

Prilaku aparat penegak hukum, telah dimaknai sebagai tindakan yang memihak kekuasaan, bukan tindakan yang menegakkan rasa keadilan. Hukum yang diskriminatif menciptakan ketidakpastian, ketidakpastian mendorong rakyat mencari caranya sendiri untuk melindungi rasa aman dirinya. Di tangan masyarakat, hukum rimba diterapkan pada obyek yang tidak disukainya sebagai pelampiasan kekesalan diri karena tidak ditemuinya keramahan keadilan yang menghargai nilai kemanusiaan. Dalam era kepemimpinan SBY, reformasi perilaku penegakan hukum belum mengubah substansi tujuan penegakan keadilan. Penegakan hukum masih jauh dari penurunan tensi kecemasan di kalangan rakyat. 

VII. Ketergantungan mondial 
Sejak era tahun 1990-an perekonomian dunia ditandai dengan kecenderungan mondial. Indonesia masuk dalam kompetisi mondial dengan bekal modal sosial dan budaya yang rapuh. Sistem pemerintahan, penegakkan hukum dan sistem kepartaian yang lemah dan fundamental ekonomi yang kropos. Situasi ini menggiring Indonesia masuk kedalam kompetisi internasional dengan berbagai kelemahan di bidang sember daya manusia, kebudayaan, teknologi bahkan tradisi berdemokrasi telah menyulitkan dirinya untuk dapat berkompetisi dengan harga diri yang tinggi. 

Konsep mondialisasi dapat menguntungkan bila bangsa ini memusatkan perhatian pada strategi perjuangan kebangsaan yang tepat. Misalnya liberalisasi perdagangan dunia dalam jangka pendek dapat membuat Indonesia tetap kompetitif bila berkonsentrasi pada faktor produksi dalam negeri, seperti sektor tradisional dan pertanian. 

Ketergantungan hutang luar negeri, yang menjadi perangkap pembangunan, tidak dapat lagi diselesaikan dengan pendekatan rasional ekonomi, tetapi lebih pada negosiasi politik Internasional. Inilah wilayah kelemahan Indonesia yang tidak pernah mendapat perhatian serius dari para pemimpin pemerintahan bangsa. Ketergantungan pada pasar negara maju seperti AS, Jepang dan Singapura harus mampu diubah untuk menjaga keseimbangan resiko global melalui diversifikasi produk maupun pasar. [bagian 2] 

Upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki semua itu, hanyalah dengan Restorasi Indonesia! Sekali lagi Restorasi Indonesia!

N.H. Eman ( Ketua Nasional Demokrat Wilayah Sulawesi Utara)
Roy Erickson Mamengko (Ketua Bid. Perencanaan, Penelitian & Pengembangan)