Thursday, September 23, 2010

MENJAGA SEMANGAT KEINDONESIAAN

Ferry Mursidan Baldan
Dua kali duduk di DPR, tak membuatnya lupa pada salah satu tugas politisi: Menjaga keutuhan NKRI. Dan, Nasional Demokrat pun mampu meredam konflik.

Pemilihan Umum Legislatif 1997 merupakan pengalaman pertama Ferry Mursidan Baldan sebagai anggota legislatif dari Partai Golkar untuk masa jabatan 1997-2002. Terpilih dari daerah pemilihan Bandung, Jawa Barat, pria yang kini menjabat Ketua Organisasi dan Keanggotaan Nasional Demokrat, itu ditempatkan di Komisi II membidangi Pemerintahan Dalam Negeri, Hukum, Kepolisian, dan Aparatur Negara, Namun, begitu rezim Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto tumbang pada 21 Mei 1998, di bawah Presiden BJ Habibie, pemilu pun dipercepat.

Toh, pria berdarah Aceh yang akrab disapa Kang Ferry, itu pada pemilu 1999 kembali terpilih sebagai anggota DPR RI periode 1999–2004. Kali ini karirnya menanjak: menjadi Wakil Ketua Komisi II. Pada masa awal reformasi itulah ia terlibat dalam penyusunan UU yang dinilai banyak pengamat sebagai landasan menuju Indonesia yang demokratis: UU No 22/1999 tentang Otonomi Daerah, UU No 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, UU Bidang Politik, dan Rancangan Undang-Undang tentang Partai Politik. Dan, untuk dua produk legislasi terakhir itu ia malah menjadi anggota dan Ketua Pansusnya.

Menurut Kang Ferry Organisasi Massa Nasional Demokrat harus menjadi organisasi yang dapat membangkitkan keberanian kadernya untuk mengungkapkan keinginan me re k a , s e r t a me n i n g k a t k a n kepedulian terhadap sesama. Sebab, pria yang pernah bercita-cita menjadi pilot dan diplomat, itu melihat potensi disintegrasi bangsa semakin kuat. Menurut Ferry, hal itu dapat terjadi akibat orientasi kebanyakan partai politik cenderung pada sesuatu yang sifatnya material, sehingga yang terjadi akhirnya hubungan transaksional.

“Padahal ketika kita mengembangkan diri sebagai politisi, mengembangkan partai, yang harus kita jaga adalah semangat ke-Indonesiaan, semangat kebangsaan. Ruang itu harus kita pelihara. Jadi, kalau orang kemudian cenderung pada material, itu pasti merupakan pengabaian,” kata Ferry.

Menurut Ferry, banyaknya konflik mengenai batas daerah hasil pemekaran akibat Otonomi, tidak akan menimbulkan potensi disintegrasi bangsa. “Masalahnya adalah, ketika ada kebijakan otonomi daerah, yang di pusat ternyata masih ingin berkuasa penuh, seperti pada masa sebelumnya,” kata sarjana politik Unpad itu. Artinya, dengan melakukan tindakan tersebut, pemerintah pusat seakan tak mengakui adanya ruang kewenangan bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan daerahnya.

Padahal, yang diotonomikan adalah kewenangan untuk mengembangkan kehidupan mereka, bukan kewenangan untuk menyaingi kekuasan pusat.

Dengan kata lain, bila suatu daerah dimekarkan, tentu ada tujuan yang akan diraih. Selain itu, pemekaran juga harus memenuhi syarat sebagaimana dicantumkan dalam undang-undang. Jadi, jika tidak sesuai dengan UU tersebut, maka pemekaran itu salah. Sebab, akan sangat berbahaya dan fatal jika daerah yang dimekarkan ternyata menjadi semakin miskin dibandingkan ketika masih bergabung dengan daerah induk. “Artinya, itu bukan karena salah undang-undang, tapi karena secara tidak sengaja kita membiarkan terjadinya proses kemunduran kehidupan bagi sebagian masyarakat di daerah otonom baru itu. Juga, bukan hanya karena melanggar undang-undang, melainkan karena sudah ada proses sebelumnya yang mengakibatkan kemiskinan itu,” jelas Ferry.

Mengenai konflik yang timbul akibat pemekaran karena persaingan merebut kepemimpinan daerah hasil pemekaran, Ferry sangat bersyukur karena konflik-konflik itu dapat diredam oleh kehadiran Organisasi Massa Nasional Demokrat. Ia memberikan contoh kasus di Kepuluan Riau (Kepri). Melalui dua tokoh inisiator Nasional Demokrat setempat, pihak-pihak yang awalnya bersaing dalam perebutan kursi pemimpin daerah, bahkan hasilnya digugat, akhirnya bergandengan tangan saat deklarasi Nasional Demokrat. Dan, itu berdampak politis luar biasa bagi para pendukungnya. Begitu melihat kehadiran pemimpin mereka dalam satu panggung, masyarakat pun percaya bahwa ternyata tak ada masalah. “Artinya, melalui Nasional Demokrat, potensi konflik dapat dipadamkan,” kata Ferry. Sumber: majalah AND edisi September 2010