Monday, November 29, 2010

Pemerintah Intervensi Domain Civil Society

Sri Sultan Hamengku Buwono X


Beberapa waktu yang lalu jaringan Q-tv melakukan wawancara dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X mengenai Ormas Nasional Demokrat (Nasdem). Isi wawancara itu sangat menarik untuk disimak kembali. 

BaliPeduli menurunkan jawaban-jawaban Sri Sultan berikut ini:
Globalisasi merupakan tantangan sekaligus peluang bagi Indonesia. Bagaimana Indonesia bisa survive dalam pertarungan globalisasi ini? Jawabannya adalah Restorasi dengan cara mengolah pola pandang dan pendekatan terhadap pembangunan Indonesia. Indonesia sebagai negara maritim harus menjadi fokus utama didukung roadmap otonomi daerah yang benar.

Reformasi tidak Perlu lagi
Sebagai salah seorang deklarator Ciganjur (pertemuan empat tokoh nasional yakni Amin Rais, Gus Dur, Megawati, dan Sri Sultan pada tahun 1998 yang memperkuat tuntutan mahasiswa untuk melakukan reformasi, - red), bagi saya reformasi tidak perlu lagi. Sekarang yang diperlukan adalah restorasi. Mengapa saya katakan itu, karena tantangan faktor eksternal internasional sudah berubah dan keadaan dalam negeri juga sudah berubah, sehingga kita memerlukan perubahan paradigma. Perubahan yang kami lakukan adalah bagaimana kita mengubah paradigma kebijakan kontinental menjadi kebijakan maritim, karena negera kita adalah negara maritim dan bukan negara daratan.

Dalam era globalisasi ini, yang menjadi perebutan antarnegara dan antarabenua adalah Lautan Pacific dan Laut Cina Selatan. Semua negara ingin survive di kawasan itu. Indonesia pun hatus bisa survive dan kompetitif mnghadapi kecenderungan globalisasi itu. Untuk itu diperlukan strategi maritim yang kuat. Itu juga berarti bahwa kalau kita berbicara tentang aspek ekonomi maka daerah menjadi kekuatan baru dalam menghadapi tantangan zaman. Kita bertanggung jawab menjaga keselamatan pelayaran internasional dalam alki Indonesia. Karena dunia akan mengglobal maka lautan Indonesia akan sangat ramai dilewati oleh palayaran internasional, baik Selat Sunda, Selat Lombok, maupun Selat Arafura. Itu sudah menjadi konsensus internasional.

intervensi terhadap civil Society
Dalam konteks seperti itu, untuk survive menghadapi tantangan global, bangsa ini memerlukan dua persyaratan. Pertama, rakyat harus cukup maju atau berpendidikan. Yang kedua, rakyat harus cukup sejahtera dan dibangun oleh pemerintahan yang accountable. Hanya dengan begitu kita memeliki kemungkinan untuk membuka diri secara kompetitif dalam proses globalisasi. Bukan sebaliknya memasang barikade-barikade tinggi karena kita berpikir lokal sehingga kita takut menghadapi proses globalisasi.

Pendidikan sangat penting dalam proses menjadi manusia berkualitas. Tapi apa artinya itu pendidikan dibiayai 20 persen (APBN) kalau kesehatan dan kecukupan pangan tidak menjadi prioritas dalam membangun bangsa ini? Berarti kita juga mencoba mengubah prioritas bahwa ekonomi tidak hanya sekadar sebagai pertumbuhan. Bagi saya, pendidikan, kesehatan, dan kecukupan pangan menjadi proses yang sangat penting dalam ketahanan bangsa ini untuk survive dan maju dalam tantangan globalisasi.

Dengan demikian, manusia Indonesia yang terdidik menjadi modal budaya dalam proses mendesain transformasi agar rakyat Indonesia ini survive menghadapi tantangan perkembangan dan penguasaan Iptek, dan bukan sebaliknya hanya berpikir lokal sehingga pergaulan global dianggap tidak spiritual. Akibat cara berpikir seperti itu kita pun memasang barikade-barikade besar. Jadi yang terbentuk bukannya tumbuhnya civil society karena tantangan global, tapi pemerintah justru mengintervensi domain civil society seperti UU Pornografi.

Meng-engineering Diri
Kita harus survive. Dari manusia budaya kita mempersiapkan diri, meng-engineering diri untuk menguasai teknologi dan komunikasi. Kita semua pengguna komputer, namun masih banyak menggunakan komputer hanya sebagai pengganti masin tik tapi bukan sebagai kekuatan baru dalam berproses mengglobal.
Itu adalah tantangan. Saya paham bahwa untuk berubah dari buta komputer menjadi melek komputer kita harus melewati tahap “komputer hanya sebagai pengganti mesin tik,” tapi bagi saya yang terpenting adalah bagaimana kita meng-engineering diri agar mampu menggunakan peralatan IT untuk membangun komunikasi lintas negara dan lintas benua. Kita juga harus survive dan bukannya menutup diri dalam proses mendunia. Kalau kita tidak siap dengan itu, kita hanya akan menjadi negara konsumen saja.

Kenapa Restorasi?
Mengapa saya juga berharap terjadinya restorasi? Kekayaan laut kita sudah diangkat, tanah-tanah kita sudah digali, hutan kita sudah gundul, tapi rakyat tetap miskin. Berarti perlu adanya perubahan terhadap kebijakan dan perundang-undangan yang tidak menguntungkan negara dan bangsa ini. Fakta yang tidak berubah hingga hari ini adalah bahwa pemerintah tidak bisa memisahkan antara aset negara dan aset pemerintah. Kekayaan republik adalah kekayaan negara dan bukan kekayaan pemerintah. Mestinya, kekayaan negara itu sebesar-besarnya dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat. Sangatlah tidak benar jika aset negara harus masuk menjadi aset pemerintah. Aset negara tidak bisa digunakan tanpa proses yang kita pahami secara transparan. Karena bagaimanapun konstitusi kita mengatakan bahwa kekayaan yang ada di bumi republik ini adalah aset negara dan bukan aset pemerintah. Jadi kita harus bisa membedakannya.

Dengan demikian, harapan saya, restorasi menjadi sangat penting dalam mencoba mempersiapkan bangsa ini menjadi sejahtera, tidak hanya dalam bidang ekonomi, tapi juga bisa membangun peradaban bersama. Sebab sejak awal kita sudah sepakat membangun diri menjadi suatu bangsa, meskipun kita berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Lalu, bagaimana kita bisa saling menghargai, saling menghormati, tetap berada dalam kerukunan, kebersamaan, dalam persatuan? Jawabnya jelas. Di dada semua pemimpin dan anak bangsa ini ada Pancasila. Kaki dan tangannya mencengkeram kuat Bhinneka Tunggal Ika sebagai strategi integrasi bangsa. Ini sangat penting sifatnya. Ini harga mati. Ideologi Pancasila itu tidak hanya harus kita pegang dan aplikasikan, tapi kita juga harus tunduk pada ideologi itu.

Tulisan diambil dari BaliPeduli edisi V tahun 2010